Eka Kurniawan dan Tokoh Ajaib dalam Novelnya
Kalau ditanya siapa penulis Indonesia yang
karyanya paling banyak saya baca, jawabannya sudah pasti Andrea Hirata, dengan
Tetralogi Laskar Pelangi, Dwilogi Cinta Dalam Gelas dan Ayah yang totalnya ada
tujuh buku. Yang karyanya sudah saya baca sejak sekolah, itupun hasil pinjam
dari Perpustakaan Daerah, sebelum
akhirnya saya punya semua koleksinya saat kuliah. Tapi kalau ditanya siapa penulis Indonesia
yang karyanya mempengaruhi cara berpikir saya kini, saya akan jawab dengan
pasti bahwa itu adalah Eka Kurniawan.
Kenapa baru kini? Karena faktanya saya memang
baru membaca karya Eka satu tahun belakangan. Telat? Sudah pasti. Tapi lebih
baik telat daripada tidak sama sekali, iya toh. Perkenalan saya dengan karya
Eka terjadi di suatu siang yang gerah, satu tahun lalu. Ketika itu saya yang
hatinya sedang gundah gulana hanya membiarkan kaki dan tangan saya
mengendalikan setir mobil tanpa tujuan kemanapun, tahu-tahu sudah keluar dari
jalur tol dan memasuki parkiran sebuah pusat perbelanjaan di daerah Karawaci
Tangerang. Parkir di luar gedung, berjalan dengan mengenakan sendal jepit, rambut
di gelung seperti baru keluar kamar mandi, dan berantakan. Meski berantakan
saya tetap tidak lupa pakai Lipstik, warnanya Pink. Halah, kok ceritanya jadi
ribet begini. Pokoknya saya kenalan di toko buku aja.
Tapi hati yang gundah gulana itu seperti tahu akan
menemukan apa disana, satu buku yang judulnya melankolis sekali, dengan
ilustrasi sampul bergambar perempuan yang rambut dan bajunya tertiup angin,
berdiri diatas perahu, dengan warna merah hati dan orange yang sendu, sendu
seperti senja. Judul bukunya; Perempuan Patah Hati Yang Kembali Menemukan Cinta
Melalui Mimpi. Saya ambil tanpa pikir panjang, berjalan menuju kasir, membayar
buku itu dengan beberapa buku lain, lalu pulang.
Singkat cerita, Eka membuat saya jatuh hati
pada karya-karyanya. Saya membuat review berdasarkan urutan buku yang saya baca
lebih dulu;
1.
Perempuan Patah Hati yang Kembali
Menemukan Cinta Melalui Mimpi
Sudah saya jelaskan diatas bagaimana awal perkenalan saya dengan buku ini, jadi tidak perlulah ya saya ulangi. Yang pasti, ini merupakan Kumpulan Cerpen dan bukannya novel seperti yang saya pikir. Dan isinya juga tak semelankolis judul dan sampulnya. Kecewa? Tentu saja tidak. Karena beberapa judul memang merupakan cerita yang bagus. Seperti pada judul “Penafsir Kebahagian”, bercerita mengenai seorang perempuan bernama Siti, yang sengaja di boyong oleh Jimmi ke Amerika untuk dijadikan pembantu, meskipun tugasnya bukan hanya sebagai pembantu tapi juga... ya begitulah, pokoknya. Entah kenapa judulnya mesti begitu, karena pada kenyataannya tidak ada yang benar-benar bahagia di akhir kisah tersebut.
Sudah saya jelaskan diatas bagaimana awal perkenalan saya dengan buku ini, jadi tidak perlulah ya saya ulangi. Yang pasti, ini merupakan Kumpulan Cerpen dan bukannya novel seperti yang saya pikir. Dan isinya juga tak semelankolis judul dan sampulnya. Kecewa? Tentu saja tidak. Karena beberapa judul memang merupakan cerita yang bagus. Seperti pada judul “Penafsir Kebahagian”, bercerita mengenai seorang perempuan bernama Siti, yang sengaja di boyong oleh Jimmi ke Amerika untuk dijadikan pembantu, meskipun tugasnya bukan hanya sebagai pembantu tapi juga... ya begitulah, pokoknya. Entah kenapa judulnya mesti begitu, karena pada kenyataannya tidak ada yang benar-benar bahagia di akhir kisah tersebut.
Baca juga cerita mengenai
Marni dalam kisah “Gincu Ini Merah, Sayang”. Marni adalah mantan pelacur yang menikah dengan Rohman
Nurjaman, pelanggannya dulu. Mereka menikah dengan kesepakatan bahwa Marni akan
meninggalkan dunianya di Bar. Mereka hidup senormal mungkin, merawat cinta yang
mereka bina seperti pasangan yang bertemu selayaknya orang normal. Tapi itu tak
bertahan lama, setelah empat tahun, Rohman Nurjaman menceraikan Marni hanya
karena perkara gincu merah yang selalu dioleskan perempuan molek itu atas bibir
penuhnya. Bacalah sampai akhir, maka kamu akan tahu kenapa Marni tetap
mengoleskan gincu merah itu. Ini bagian yang paling saya suka, karena cerita
romansa tak melulu datang dari percakapan-percakapan melankolis, bisa juga
datang dari kisah sederhana Marni dan gincu merahhnya.
Beberapa cerita tampak tidak biasa,
seperti judul “Tiga Kematian Marsilam”, “Membuat Bahagia Seekor Gajah”, “Jangan
Kencing Di Sini” dan “Teka-Teki Silang”. Kumcer ini bisa kamu baca santai,
jenis buku saku dengan 166 halaman. Bisa juga kamu bawa-bawa saat bepergian
atau sambil menunggu bus, bahkan ke kamar mandi pun boleh.
2. Seperti Dendam, Rindu Harus Di Bayar Tuntas
2. Seperti Dendam, Rindu Harus Di Bayar Tuntas
Selain judulnya yang berbau-bau
puisi itu, ilustrasi sampul nya juga tampak tidak biasa; seekor burung yang seperti jatuh terbalik dengan
bulu-bulunya yang beterbangan, dengan warna hijau stabilo yang sekilas mirip
warna kuning pada warna sampul nya. Novel Eka yang ini memang banyak sekali
review nya, dan rata-rata mereka akan memberikan 4 dari 5 bintang sembari
bilang “wow, ini novel yang tidak biasa”. Dan setelah saya baca, saya tentu
saja tidak setuju. Novel ini layak dapat bintang lebih banyak dari itu. Karena
apa? Tentu saja karena ceritanya yang tidak biasa.
Adalah Ajo Kawir, tokoh utama
dalam novel ini yang mengalami kisah memilukan ketika remaja; menyaksikan dua
orang polisi memperkosa perempuan gila bernama Rona Merah. Kejadian itu bukan
hanya membekas dalam ingatan remajanya tapi juga membuat “sesuatu” dalam diri
Ajo Kawir tak mau bangun lagi. Juga Iteung, perempuan perkasa yang dicintai Ajo
Kawir. Ada juga Si Tokek, sahabat Ajo Kawir yang menyaksikan bersama ketika si
Rona Merah diperkosa, bersama dengan Iwan Angsa dan Wa Sami, yang merupakan
orang tuanya, berusaha mengembalikan apa yang hilang dari diri Ajo Kawir. Nah,
soal apa hubungan gambar si burung yang jatuh terbalik-atau tampak tidur itu-
dengan cerita dalam novel ini, saya tidak akan cerita, kalau kalian mau tau,
bacalah sendiri novelnya, ya.
Yang saya mau katakan adalah
selain ceritanya yang tidak biasa, Eka juga menampilkan tokoh-tokoh yang tampak “tidak waras”. Di
tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori
tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha
membangunkannya. Ini adalah cara Eka mengingatkan kita, bahwa hal yang di alami
Ajo Kawir juga pernah kita alami, dalam skala yang lebih besar.
3. Cantik Itu Luka
Jalan cerita yang rumit dan
kompleks, tokoh-tokoh yang ajaib dengan
latar sejarah indonesia di tiga zaman; akhir masa kolonial, orde lama dan order
baru, membuat novel ini sebagai karya sastra terbaik yang pernah saya baca dari
seorang penulis indonesia. Ini sungguhan, kalaupun saya sedikit
melebih-lebihkan itu karena saya merupakan penggemar berat Eka, jadi ya wajar
saja, ya. Tapi begini, Eka berhasil membuat tokoh-tokohnya tampak benar-benar
hidup, dengan karakter yang kuat dan tidak biasa. Lihat saja Dewi Ayu,
perempuan yang menjadi tokoh sentral dalam novel ini punya cara bicara yang
mengejutkan; Sarkastis.
Selalu menyenangkan membaca dialog-dialog Dewi Ayu, saya dibuat tertawa, takjub bercampur geli sambil membayangkan apapun yang dikatakan Dewi Ayu. Seperti
percakapan Dewi Ayu dengan si Cantik tak lama setelah bangkitnya ia dari
kematian.
“Berapa lama aku mati?”
“Dua puluh satu tahun,” kata si Cantik
“Maaf terlalu lama,” katanya penuh penyesalan, “tak ada jam weker di
dalam kubur.”
(halaman 21)
Novel ini memang menampilkan
banyak tokoh, selain Dewi Ayu dan keempat putrinya, diceritakan pula mengenai
ketiga menantu dan ketiga cucunya. Tapi bukan itu yang paling menarik perhatian
saya. Saya justru tertarik dengan tokoh Ma Gedik, lelaki tua menyedihkan yang
dipaksa mengawini Dewi Ayu yang saat itu masih berusia enam belas tahun, atas
perintah Dewi Ayu sendiri. Bagaimana bisa Dewi Ayu yang cantik, berdarah
campuran belanda, meskipun sedikit “gila” itu menginginkan Ma Gedik? Ini karena
Ma Gedik adalah kekasih dari Ma Iyang; neneknya yang seorang gundik belanda.
Saat mengetahui bahwa Ma Gedik yang seumur hidupnya hanya mencintai Ma Iyang
dan menjadi gila ketika kekasihnya mati, membuat Dewi Ayu juga menginginkan
lelaki tua itu, untuk kemudian membuatnya bahagia. Tapi Ma Gedik merasa hal tersebut sebagai malapetaka, dia tak menginginkan Dewi Ayu, juga menganggapnya sebagai
iblis wanita perayu. Maka lelaki tua itu memilih mati; terjun dari sebuah
bukit. Membuat Dewi Ayu menjadi janda di usianya yang masih enam belas tahun. Ma
Gedik memang mati, ia terhempas kebebatuan dengan tubuh yang tercincang-cincang
tak karuan, tapi rohnya hidup, tetap hidup sampai kemudian Dewi Ayu yang
bangkit dari kematiannya dan melenyapkan roh
itu.
Ada percakapan menarik antara
Dewi Ayu dan Roh Ma Gedik, sesaat sebelum roh itu lenyap;
“Telah kupisahkan mereka dari orang-orang yang mereka cintai,” katanya
pada Dewi Ayu, “Sebagaimana ia memisahkanku dari orang yang aku cintai.”
“Tapi aku mencintaimu,” kata Dewi Ayu, “Cinta yang keluar jauh dari
usus-ususku.”
“Maka aku bahkan melarikan diri darimu, cucu Stammler!
(halaman 453)
Ini adalah pernyataan cinta
paling tidak romantis, dan paling absurd yang pernah saya baca. Siapa yang sangka, Dewi Ayu yang cantik, pelacur paling
terkenal di Halimunda, yang memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah
pernikahan pertamanya yang gagal, ternyata disebabkan oleh rasa cintanya pada
seorang lelaki tua yang menyedihkan.
Cinta yang ternyata bertepuk sebelah tangan.
Ketika saya membaca karya Eka, saya seperti
membaca sesuatu yang lebih jujur dari sebuah kejujuran. Nyaris tanpa sensor pada bagian-bagian yang begitu liar dan vulgar. Saya bahkan
nyaris tertawa ketika menemukan kata haram
jadah dalam tulisan Eka, karena dalam bahasa sunda kata tersebut adalah
makian yang paling kasar, lebih kasar dari pada kata anjing sekalipun. tapi dibiarkan
begitu saja, dan ini yang menjadi pembeda antara Eka dan Penulis lain. Tentu
saja saya tau ini hanya sebuah karya fiksi, tapi bukan berarti sejarah yang di
tampilkan dalam tulisannya juga fiksi, kan? Kita hanya perlu lebih jeli lagi
membacanya. Seperti dalam novel Cantik Itu Luka, di halaman 477, seseorang
mengganti nisan Krisan dengan nisan baru. Di sana kini tertulis : ANJING
(1966-1997). Teringat sesuatu?
Oh, ya, kepada novel Lelaki Harimau dan Novel O yang hingga hari ini belum sempat saya baca, karena memang belum sempat saya beli juga. Tunggu ya, akhir bulan ini kita bersua. See you, dear.
Komentar