Menjadi Seperti Ibu
Setiap anak pasti pernah ditanya soal cita-citanya saat mereka dewasa nanti, tak terkecuali
saya. Biasanya ini pertanyaan wajib di sekolah, entah kita harus menuliskannya
di selembar kertas ataupun menceritakannya di depan kelas.
Karena ini jenis pertanyaan yang akan selalu ditanya
berulang-ulang, saya punya jawaban yang selalu berbeda-beda. Saat kecil
cita-cita saya selalu berubah, saya pernah ingin menjadi Guru, lalu berubah
menjadi Polisi, kemudian hari ingin jadi Presiden, bahkan pernah bercita-cita
sebagai Astronot. Tidak ada yang aneh dengan cita-cita ini, anak-anak boleh
bermimpi setinggi langit, dan orang dewasa seperti guru saya di kelas pun hanya
akan tersenyum, sambil menyuruh kita untuk belajar lebih giat agar kita bisa
mencapai cita-cita tersebut. Pada usia remaja saya mulai berpikir untuk menjadi
seorang Pelukis, Penulis, Penyair dan seorang Penjelajah. Sama seperti remaja
kebanyakan, perubahan cita-cita ini terjadi karena saya mulai memikirkan ha-hal
yang menyenangkan bagi saya, atau dalam bahasa umum kita menyebutnya sebagai
pencarian jati diri. Namun saat memasuki usia dewasa, cita-cita saya hanya
satu; saya ingin menjadi seperti Ibu saya.
Ibu adalah perempuan paling tangguh bagi saya, dan juga
bagi adik-adik saya. Darinya lah saya belajar bahwa penjadi perempuan tak cukup
hanya di rumah, bersih-bersih, dan memasak saja, tapi juga perlu belajar
setinggi-tingginya, bekerja, berkarir, dan melakukan sesuatu yang membanggakan.
Memiliki Ibu seorang pekerja membuat saya terbiasa
untuk tak selalu bergantung kepadanya, terutama untuk urusan-urusan kecil
seperti menyediakan bekal makan siang saat sekolah, itulah kenapa Ibu selalu
memperkerjakan orang lain untuk membantu tugas-tugasnya dirumah, kami
menyebutnya Bibi.
Kami bukan keluarga kaya raya, pekerjaan Ibu dan Ayah
sebagai seorang pegawai pemerintah membuat kami berada di status ekonomi kelas menengah.
Hidup sederhana menjadi kata yang tepat buat kami sekeluarga, tapi kami tetap
bisa membayar pekerja. Dulu sekali saya sering mendengar komentar-komentar
mengenai hal ini, katanya Ibu saya boros, padahal bisa saja pekerjaan itu
dilakukannya sendiri, bahkan keterlaluannya lagi mereka menyebut Ibu pemalas. Ibu
selalu menjawab dengan santai “biarin aja, Ibu yang bayar kok gaji bibi, bukan
mereka”. Saat dewasa saya mulai memahami ini; bekerja bagi Ibu bukan hanya
perkara mengumpulkan uang, tetapi memang ia mencintai pekerjaannya, dan selalu
bahagia melakukanya.
Saya tahu dengan pasti Ibu bukan pemalas, karena setiap
malam, disela-sela kegiatannya bersama kami, entah itu sambil menonton televisi
sesudah makan malam, ia tetap bekerja atau sekedar membaca laporan-laporan
pekerjaanya. Ia juga yang bangun paling pagi, membangunkan saya dan adik untuk
bersegera berangkat sekolah, memastikan Ayah tidak telat berangkat kerja, dan
melakukan pekerjaan ringan sembari menunggu bibi datang. Sesekali membuat
sarapan untuk kami. Masakan sederhana yang tak perlu membutuhkan banyak waktu,
seperti nasi goreng atau roti isi. Oh iya, bibi tidak tinggal bersama kami.
Biasanya Ibu memperkerjakan seseorang dari lingkungan sekitar tempat tinggal,
tetapi hanya sampai sore. Sehingga untuk makan malam, kami juga terbiasa
membeli makanan yang sudah jadi, tanpa perlu repot-repot Ibu memasak.
Tugas Ibu sebagai Kepala Sekolah kerap membuatnya harus pergi selama
berminggu-minggu, dulu dikenal sebagai Penataran, atau kita mengenalnya
sekarang sebagai Pelatihan Pendidikan (Diklat) bagi PNS. Untuk saat-saat
seperti ini bibi akan tinggal bersama kami, atau Ibu akan meminta sanak saudara
untuk tinggal menemani anak-anaknya. Saya akan menangis saat mengantarnya
berangkat, untuk menghentikan tangis saya, Ibu akan bilang “Ibu belajar dulu, ya, sayang, kalau Ibu pintar nanti bisa cari
uang yang banyak buat kamu sekolah”.
Pendidikan jadi satu hal yang penting di keluarga
saya, sekolah setinggi-tingginya juga menjadi prinsip yang ditanamkan sejak
kecil. Perihal ini saya mengerti, kakek-nenek saya dari pihak Ibu itu pedagang,
dan Ibu adalah satu-satunya dari kelima saudaranya yang bersekolah tinggi. Pun
begitu dengan Ayah, Kakek-nenek saya dari pihak Ayah hanyalah petani, dan juga satu-satunya dari keempat saudaranya
yang bersekolah tinggi. Bahkan di desa tempat Ayah tinggal, Ayah adalah salah
satu dari sedikit orang yang bersekolah ke Jakarta dan kemudian menjadi Guru.
Bahkan hingga kini, saat sudah banyak orang yang menjadi guru, sebutan untuk
mereka di tempat saya tinggal tetaplah “Pak Guru” dan “Bu Guru”. Sebutan guru
itu membuat orang tua saya, khususnya Ayah memiliki peran sebagai tetua, sebagai
orang yang akan dimintai saran dan pendapat dalam masalah-masalah yang terjadi
yang berkaitan dengan masyarakat.
Tapi lucunya, meski meiliki kedua orang tua yang sama-sama seorang
guru, saya dan adik-adik tidak
punya kebiasan belajar dirumah. Sesekalilah, tapi tidak rutin. Mereka berdua
tidak pernah memaksa kami belajar terlalu keras, hingga mengabaikan hal-hal
lain seperti waktu istirahat dan bermain. Pun tidak memarahi kami jika tak
mendapat peringkat di kelas. Saya memang ikut kelas tambahan belajar diluar jam
sekolah, itupun karena keinginan saya sendiri. Bagi Ibu, apa yang saya pahami
di sekolah lebih penting dari sekedar nilai-nilai bagus di buku laporan
sekolah. Hal ini saya pahami ketika dewasa, bahwa angka-angka bagus itu memang
membanggakan, tapi toh tidak bisa jadi jaminan kesuksesan nantinya. Sehingga
saat menerima rapor, berapun angkanya, Ibu selalu tersenyum bangga kemudian mengatakan
bahwa baginya sayalah yang paling pintar.
Ada satu hal yang paling saya ingat, bahkan hingga di
usia dewasa saya kini. Saya adalah pembaca yang rakus, maksudnya kegemaran saya
membaca itu sedikit berlebihan, rasanya tidak seharipun saya lewatkan kegiatan
ini. Hal ini dimulai sejak saya kecil. Saat Ibu bertugas sebagai Kepala
Sekolah, kami tinggal di rumah dinas yang letaknya bersebelahan dengan gedung sekolah, tempat yang menjadi rumah saya
selama 10 tahun. Ada perpustakaan kecil disana, dan ini adalah tempat bermain
saya. Saat jam sekolah selesai, saya terbiasa langsung menemui Ibu di
kantornya, bermain-main disana dengan buku-buku yang saya ambil dari
perpustakaan itu. Sesekali waktu Ibu akan mengajak saya dalam acara-acaranya,
seminar atau rapat. Sambil menunggu Ibu selesai dengan kegiatannya, saya akan
membaca, biasanya buku cerita bergambar. Satu bulan sekali, Ibu akan mengajak
saya ke kantornya di pusat kota, untuk mengambil gaji, lalu kami akan
berbelanja di supermarket setelahnya. Saya jarang sekali ikut masuk ke dalam, biasanya saya minta di
tinggalkan di warung makan depan kantor Ibu, syaratnya cuma satu; minta dibelikan
buku.
Yang mau saya ceritakan disini adalah, bagaimana Ibu
sejak kecil selalu memberikan kepercayaan kepada saya. Contoh kecilnya seperti
itu, ia berani meninggalkan saya di warung makan tanpa khawatir saya akan pergi
kemana-mana. Ia tahu saya akan menunggu selama apapun itu. Kepercayaan yang Ibu
berikan kepada saya adalah hal terbaik yang saya dapat. Ibu selalu percaya pada
pilihan-pilihan yang saya ambil. Saat sekolah, saya memutuskan sendiri akan
ikut organisasi apa. Saya tak pernah kesulitan meminta ijin ketika harus
mengikuti kemping sekolah, seperti yang terjadi pada beberapa kawan saya, meski
kemping sekolah kadang diadakan diluar daerah. Saya juga tak pernah di marahi
kalau pulang telat, Ibu tahu saya sIbuk dengan kegiatan sekolah, dan saya pun
tahu, Ibu akan memberikan dukungannya kepada saya dengan sepenuh hati, juga
selalu bangga dengan apapun yang saya lakukan.
Kepercayaan juga rasa bangga yang di perlihatkannya
membuat saya tumbuh menjadi anak yang aktif di sekolah. Kepercayaan ini
bertahan hingga saya dewasa, seperti pilihan jurusan saat kuliah, pekerjaan
selepas saya kuliah, dan keputusan-keputusan penting di hidup saya. Saya jarang
sekali mendengarnya bilang “tidak”. Ketika kawan-kawan saya takut bercerita
atau bahkan menyembunyikan cerita mengenai pacar-pacarnya saat sekolah, saya
bisa dengan santainya bercerita pada Ibu soal pacar-pacar saya, dan sesekali
mencandai saya mengenai itu. Sekali lagi, Ibu percaya saya tidak akan melakukan
hal-hal yang akan membuatnya kecewa sebagai orang tua.
Ibu saya memang tidak selalu masak untuk anak-anaknya,
tapi kami sekeluarga tetap bisa makan cukup, dan selalu bersyukur untuk itu.
Saya percaya, meski tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah seperti Ibu
kawan-kawan saya yang lain, Ibu saya sama baiknya, sama terhormatnya. Bahwa
nilai-nilai keIbuan seorang perempuan tidak hanya bisa diukur dari seberapa
sering ia memasak untuk anak-anak dan suaminya, seberapa bersih ia mencuci baju
dan merapihkan rumah. Bagi saya, nilai-nilai kasih yang ditanamkan Ibu kepada
saya dan adik-adik itu jauh lebih penting dari sekedar bekal makan siang. Di usia dewasa, saya menyadari
bahwa setiap Ibu adalah tempat pulang bagi setiap anak, bukan
rumahnya, tetapi kasih sayangnya.
Sama seperti Ibu yang selalu memberikan
kepercayaannya, saya pun akan melakukan hal yang sama padanya. Saya akan selalu
percaya pada keputusan-keputusan penting yang ia ambil, dan tetap berada disisinya
bahkan ketika orang lain meragukannya.
Saya akan menjadi seperti Ibu, seorang perempuan
tangguh bagi anak-anaknya, bagi keluarganya. Darinya saya belajar satu hal bahwa
membahagiakan diri sendiri juga sama pentingnya dengan membahagiakan orang lain—dan hal itu pantas untuk diperjuangkan.
Sumber: Dokumen Pribadi tahun 1995 |
*Tulisan ini pertama kali diterbitkan dalam kumpulin memoar berjudul "Bahagia Bersama Ibu Tercinta", diterbitkan oleh Penerbit Diomedia pada Maret 2019.
Komentar