Perempuan
Perempuan di Persimpangan Jalan
(Selalu di Persimpangan Jalan)
Bagi perempuan, hidup bukan soal pilihan, melainkan keputusan. karena memang tidak pernah ada pilihan-pilihan yang tersedia untuk perempuan, pilihan yang bisa membuat perempuan untuk memilih apa yang akan di lakukan. Tapi yang ada hanyalah keputusan untuk mengatakan "iya" atau "tidak" atau keputusan untuk mau melakukan atau tidak melakukannya sama sekali.
Bagi perempuan, tidak peduli dengan siapa ia akan jalani hidupnya, yang jelas bukanlah lelaki yang akan mengkotak-kotakan hidupnya, bukan juga lelaki yang akan membuat hidupnya merindukan sedikit ruang kosong untuk dirinya sendiri
Bagi perempuan, yang mereka perlukan adalah keluar dari "kemiskinan" yang membelenggu mereka. Miskin peran, miskin pengakuan dan miskin martabat, tapi perempuan tidak cukup kuat untuk mendobrak sistem nilai dan norma-norma yang mengikat mereka pada kepatuhan mutlak tanpa mampu berkata tidak.
Bagi perempuan, tak ada hal lain yang mereka butuhkan selain pengakuan atas pribadi mereka yang mandiri, pengembalian nilai-nilai mereka sebagai pribadi yang suci dan pemberian kesempatan yang sama besar seperti halnya lelaki untuk berada di ruang-ruang publik
Potongan kalimat diatas adalah tulisan saya 6 tahun yang lalu, yang saya unggah dalam sebuah aplikasi catatan, yang pada saat itu masih tersedia di dunia maya berwarna biru; Facebook. Saya menemukan tulisan ini beberapa hari lalu, ketika itu saya ingat akun Facebook lama saya lalu mencoba membukanya, tapi berkat seseorang, saya kehilangan password-nya hampir tiga tahun lalu, dan membuat saya terpaksa membuat akun baru. Seperti bermain kata, saya coba masukan semua password dengan hurup, angka, atau simbol, dan tak satupun yang cocok. Saya menyerah. Lalu saya masuk ke mesin pencarian di akun baru, dan ketemu.
Kesan pertama; Asing.
Benarkah perempuan dalam foto profil itu saya?
Lalu saya membaca lagi hal-hal yang pernah saya tulis, juga melihat lagi poto apa aja yang pernah saya unggah, dan ya tuhan, ternyata saya pernah alay juga, rasanya saya ingin mengklaim kalau saya tidak pernah menulis itu semua, sampai saya menemukan tulisan diatas, yang mengingatkan secara mendadak pada hal-hal yang pernah jadi pergulatan batin saya.
Dan ternyata, pergulatan batin itu masih ada sampai sekarang. Mengendap.
Waktu itu saya tidak punya keberanian untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan tentang perempuan, bahkan pada kawan-kawan terdekat saya, ini karena saya sudah lebih dulu membayangkan reaksi mereka; memincingkan sebelah mata dan mengerutkan dahi, belum lagi dengan berbagai bantahan. Saya juga tidak punya banyak kesempatan untuk berdiskusi mengenai hal ini dengan kawan saya di kampus, juga organisasi pergerakan dimana saya menjadi kadernya, sesekali memang kita jadikan topik perempuan sebagai kajian diskusi, tapi ya itu, saya sendiri semakin jarang hadir terutama menjelang semester akhir dan skripsi.
Ada tahun-tahun yang saya jalani dalam pengasingan, dan tulisan diatas saya kira ditulis dimasa itu. oh, jangan bayangan kan saya benar-benar hidup dalam pengasingan, ini tidak seperti adegan-adegan penuh drama dalam sinetron indonesia. Ada juga tahun-tahun yang sengaja saya lupakan, meskipun tak sepenuhnya hilang, itu karena ingatan tak punya tombol on-off yang bisa kamu atur, atau seperti memory card dengan file yg bisa kamu hapus lalu kamu remove dan kamu hapus lagi. Bagi saya, memori bekerja dengan cara yang paling misterius, seperti Tuhan yang transenden.
Tapi sekarang, setelah saya lebih punya banyak keberanian, saya tetap tak bisa membicarakan ini, bukan lagi karena takut, tapi enggan. Karena pembahasan paling sederhana mengenai perempuan, atau katakanlah gender, orang mudah sekali salah memahami. Pernah suatu kali, saya dan kawan-kawan dekat membicarakan mengenai perempuan yang bekerja. Beberapa kawan perempuan, jika diberi pilihan mereka akan memilih tinggal dirumah dan jadi ibu rumah tangga, apalagi jika keadaan ekonomi mencukupi, saya bilang, sekalipun ekonomi keluarga mencukupi, saya akan tetap bekerja. kata-kata saya ini, tak dianya menjadi perdebatan panjang di selingi dengan candaan dan adu argumen, terutama dengan kawan-kawan lelaki saya. Pembicaraan semakin bergulir kebanyak topik, soal kewajiban memasak, mengurus rumah, mendidik anak, sampai pada hal sederhana sekalipun.
Pembicaraan diatas cuma salah satu contoh, saya kerap di hadapkan pada situasi yang sama, tapi saya perlu menjelaskan ini sekali lagi, bahkan setelah pembicaraan berminggu-minggu yang lalu. Terutama mengenai perempuan yang bekerja, benar bahwa saya mengatakan akan tetap bekerja, sekalipun kondisi ekonomi keluarga mencukupi, karena bagi saya, bekerja bukan hanya perkara uang. Bekerja dalam pengertian sederhana saya berarti melakukan sesuatu, menghasilkan sesuatu, berkarya dan berkarir, tapi dibalik itu, ada sesuatu yang kita rayakan; hidup kita sebagai manusia. Kalaupun di kemudian hari saya memilih menjadi ibu rumah tangga yang penuh waktu, itu haruslah keputusan saya sendiri, bukan keputusan yang dibuat oleh orang lain.
Saya juga jengah dengan banyak label yang sematkan pada perempuan, stereotipe. Contohnya begini, saya perempuan yang tidak berhijab, bersama seorang kawan yang juga tidak berhijab kami pernah dinilai bukan contoh perempuan yang akan jadi pilihan utama lelaki untuk mencari pasangan hidup, kami cuma cocok jadi pasangan main-main, sedangkan perempuan berhijab dinilai lebih matang dan dewasa dan dianggap lebih siap untuk menjadi seorang istri. Sederhananya, kami dinilai bukan perempuan baik-baik hanya karena apa yang menempel di tubuh kami.
Saya menulis ini bukan untuk mendebatkan banyak hal, atau melakukan pembelaan dan baradu argumen. Saya hanya ingin kita bisa memahami bahwa perempuan punya hak atas tubuh dan pikirannya sendiri, seperti kata seorang kawan, perempuan bukan hanya perlu menjadi manusia merdeka tapi juga manusia berdaulat.
Komentar