Kritik itu, Memangnya Harus Bagaimana?*
gambar dok: brainfacts.org |
“Kalau enggak kasih solusi, enggak usahlah kritik-kritik begitu, kan, jadi kelihatan bodohnya.“
Kawan saya mengatakan hal itu sambil lalu dalam sebuah obrolan ringan, pada suatu hari saat kami sedang membicarakan mengenai Ridwan Kamil (RK). Ia bercerita tentang RK yang saat itu menjabat sebagai Walikota Bandung memublikasikan suatu model pembangunan yang kemudian mendapat kritik dari orang lain.
Kami tidak membicarakan apa persisnya yang dikritik oleh orang tersebut, tapi sikap RK-lah yang kemudian menjadi pembahasan kami. Kalau disederhanakan, RK menanggapi kritik tersebut dengan memberikan tantangan kepada si pengkritik untuk memublikasikan model pembangunan baru sebagai solusi lain. Bagi kawan saya, apa yang dilakukan RK merupakan sikap positif yang bisa ditiru orang lain.
“Masyarakat kita memang harus diginiin, biar pinter, kalau enggak kasih solusi, enggak usahlah kritik-kritik begitu, kan, jadi kelihatan bodohnya,” ucap kawan saya.
Saya mengerutkan dahi. Tanda tidak setuju.
Kritik yang disertai solusi itu biasa kita kenal dengan frasa: ‘kritik yang membangun’. Frasa sakti ini warisan Orde Baru (Orba), maka dari itu sudah barang tentu manusia se-Indonesia mengetahuinya. Frasa itu menjadi jawaban mainstream para pejabat masa Orba kala ditanya soal kebijakan pemerintah; dijadikan kartu mati saat hadirnya protes dari masyarakat yang lahannya dijadikan aset negara atas nama pembangunan; juga saat masyarakat mulai rewel bertanya dengan pertanyaan yang bikin gerah penguasa.
Tetapi sekarang kita bukan lagi hidup di zaman Orba. Kita bahkan dengan gagah berani mengangkangi kekuasaan Soeharto agar masyarakat punya suara. Reformasi ‘98 jadi bukti nyata. Maka dari itu, bagi saya, kritik, ya, kritik aja. Kritik tidak selalu harus disertai dengan solusi. Justru adanya kritik itu untuk mencari solusi, dan bisa dilakukan bersama-sama; oleh para pembuat kebijakan dan juga masyarakat umum.
Kalau setiap kritik selalu harus disertai dengan solusi, atau ada semacam standar dalam mengkritik, orang akan malas untuk mengkritik. Padahal menunjukan sikap kritis itu baik. Kritik menunjukkan rasa kepedulian kita, tanda bahwa kita berpikir sekaligus memelihara nalar.
Meski sudah lewat berminggu-minggu lalu, tetapi obrolan itu menyisakan beberapa pertanyaan bagi saya: (1) Bagaimana seharusnya cara kita memberikan kritik? (2) Apakah untuk memberikan kritik, kita harus menjadi lebih baik dari orang yang dikritik? (3) Apakah yang menjadi acuan untuk menilai orang tersebut lebih baik dari kita?
Perkara kritik-mengkritik ini bukan hanya terjadi antara pejabat–rakyat saja, tapi terjadi juga pada kehidupan masyarakat kita. Contohnya, dosen yang hanya mau mendengar kritik dari sesama dosen atau pejabat kampus, tetapi tidak mau menerima kritik dari mahasiswa. Insinyur teknik sipil yang sedang mengerjakan proyek pembangunan jalan tol hanya menerima kritik dari sesama orang teknik sipil, tetapi tidak menerima jika kritik itu datang dari pengguna jalan tol. Sutradara film hanya mau menerima kritik dari sesama sutradara atau pelaku industri perfilman, tetapi tidak menerima jika kritik tersebut dari penonton. Hal-hal seperti ini selalu kita temukan dalam keseharian di berbagai bidang.
Akan tetapi, kita memang harus bisa membedakan mana kritik dan mana yang mencela. Kritik atau dalam hal ini kritik sosial biasanya berupa tanggapan pada suatu gagasan/ide dari sekelompok orang atau perseorangan, yang keputusan dari gagasan/ide berlaku bagi banyak banyak orang. Berbeda halnya dengan mencela, karena dalam mencela yang diserang biasanya menyangkut hal-hal personal atau pribadi, istilahnya argumentum ad hominem.
Memang agak sulit memisahkan sebuah kritik itu berkaitan langsung dengan kepentingan orang banyak atau hanya terbatas pada kepentingan pribadi si pengkritik tersebut. Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk tidak hanya bisa memberikan kritik tetapi juga belajar menerima kritik.
Menurut saya, kritik itu bisa dilakukan dengan cara apa saja, dan oleh siapa saja, selama tidak mencela. Apapun bentuk kritiknya—solusi atau tanpa solusi, seharusnya tetap didengarkan. Itu pilihan terbaik. Jika setiap orang (terutama pejabat pemerintah atau politisi) tidak mendengar, maka hal itu sama saja mematahkan nalar, menunjukkan sikap anti kritik dan arogan. Sikap yang akhir-akhir ini sering kita temukan pada tokoh-tokoh publik dan elit politik negeri ini.
Saya tak heran jika akhirnya media sosial menjadi corong bagi rakyat meluapkan uneg-uneg–nya. Selain lebih mudah karena bisa langsung menyasar tokohnya—atau kebijakannya, biasanya kritik itu juga mendapat tanggapan dari masyarakat lain, baik berupa dukungan maupun penolakan. Dukungan dan penolakan ini kemudian yang menjadi tolak ukur. Menjadi guide bagi masyarakat dalam menentukan sikap, dan salah satu cara membangun kesadaran politik.[]
Komentar