Quarter Life Crisis
Foto dok: Pinterest |
Waktu mau nulis
ini, pikiran saya cuma satu, bisa nggak sih kita ngalamin quarter life crisis dua kali? Kalau bisa, berarti saya lagi
ngalamin proses ini.
Tanpa perlu
repot-repot ngejelasin apa itu quarter
life crisis, saya langsung cerita aja, ya. Jadi begini, diawal umur 20an,
saya ngalamin hal ini juga; kebingungan, banyak keinginan yang nggak tercapai,
rencana-rencana hidup yang tiap dipikirin ulang semakin nggak realistis, jalan
hidup yang berbelok kekanan kekiri lalu naik dan turun trus ujung-ujungnya
muter-muter doang, sampe capek sendiri dan akhirnya milih diem nggak
ngapa-ngapain. Trus waktu itu akhirnya melakukan apa? Nggak ada. Saya cuma bisa
marah; sama diri sendiri udah pasti, sama orang lain, bahkan sama Tuhan. Tapi ga
lama kok, hehe, bentaran doang, karena pada akhirnya saya bisa berdamai dengan
semuanya. Menyusun ulang rencana-rencana, lalu mulai lagi satu-satu.
Pelan-pelan.
Sekarang saya
hampir 30 (oke, oke, masih ada 1,5 tahun lagi sihh sebenarnya, cuma kayanya tiap
hari makin mendekati aja). Di umur segini, saya udah bisa kasih predikat sama
diri sendiri sebagai perempuan dewasa yang penuh kematangan berpikir. Berlebihan
nggak sih itu? Haha, ah biarlah, kasih predikat buat diri sendiri kok. Tapi
maksudnya begini, saya di umur segini memang betul-betul tahu apa yang mau saya
capai, dan harus melakukan apa aja untuk mendapatkan itu. Hidup juga lebih
stabil, kalaupun ada satu-dua hal yang tidak sesuai atau ada masalah di tengah
prosesnya, biasanya bisa langsung saya atasi. Lalu tiba-tiba munculnya
kebingungan-kebingunan ini, tanpa basa-basi, apalagi permisi.
Mendadak gelisah
tanpa sebab itu rasanya aneh, dan tidak menyenangkan, apalagi bikin saya nggak
bisa tidur nyenyak berminggu-minggu. Pasti ada sesuatu yang salah. Tapi dimana
salahnya? Maka untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, saya perlu
melakukan sesuatu yang selalu disarankan para motivator, yaitu berkontemplasi
dengan diri sendiri, yang memaksa saya harus mengingat banyak hal. Karena
sebetulnya jawaban itu udah ada, hanya saja berserakan dimana-mana, didalam
ruang ingatan. Saya hanya perlu menemukan itu. Jadilah saya berkenala dialam
ingatan saya sendiri.
Perdamaian
pertama dalam hidup saya itu soal kerjaan. Selepas lulus kuliah dari program
Ilmu Administrasi Negara, bukannya kerja di kantor pemerintahan seperti yang
diharapakan ibu ayah dan juga yang dilakukan sebagian kawan-kawan, saya justru
kerja di pabrik sepatu. Iya, ini bener-bener pabrik sepatu yang karyawannya
ribuan orang dalam satu gedung produksi, tempat saya kerja malah punya 12 ribu
pekerja, kebayang nggak itu? Yah, walapun saya ga terlibat secara langsung sama
proses pembuatannya, tapi tetep aja ini bukan tempat yang pernah saya bayangin.
Alesannya 100% karena faktor ekonomi, jadi nggak usah bayangin saya jawab
sedang mencari pengalaman kerja pas lagi interview
kaya fresh graduate lainnya. Butuh
hampir setahun buat ngeyakinin orang tua—terutama ibu yang terus-terusan
ngerayu untuk pindah dan jadi karyawan magang di Pemda—bahwa tempat ini menyelamatkan
hidup saya. Anehnya, saya menikmati pekerjaan dan dunia persepatuan ini. Tapi selama bertahun-tahun kerja, ketertarikan saya
pada satu hal ini tidak pernah berkurang, malah semakin besar. Tahu apa?
Politik.
Di tahun ketiga
saya kerja, dan disaat kawan-kawan nongkrong saya makin berkurang tiap akhir
minggunya, saya mutusin ambil pascasarjana. Kali ini betul-betul jurusan Ilmu
Politik. Alesannya 100% persen karena
idealisme. Jadwal kuliah dan waktu kerja yang ga cocok itu bisa saya atasi dengan cara pindah jobdesk, meski masih di satu departement yang sama.
Ada yang lucu dari
reaksi orang pas mereka tanya kenapa saya kuliah politik. Kalau dikantor,
biasanya langsung bikin kesimpulan kalau saya pengen jadi caleg, haha. Ini
beneran lho, sesederhana itu. Politik diartiin cuma caleg-caleg-an kalau pas
pemilu aja. Sementara reaksi dikampus lebih ke kaget aja gitu, terutama pas tahu saya kerja ditempat yang
nggak perlu ilmu politik sebenarnya. Jawaban saya juga kadang asal aja, pernah
jawab “pengen belajar lagi” atau “biar makin pinter”, padahal kan bukan cuma
itu. Saya punya tujuan yang jelas, dan cita-cita saya memang mengharuskan saya
punya gelar S2.
Kampus jadi tempat
dimana otak saya menemukan kembali keberadaanya. Mengenal dan berkawan dengan
mereka yang terlibat langsung dalam dunia politik, membuat saya memiliki
prespektif yang lebih luas. Semakin lama belajar, semakin pahamlah bahwa saya
ini tidak tahu apa-apa. Ketika menyadari bahwa selama ini saya terlalu jumawa
dengan menganggap diri cukup pintar, jungkir baliklah dunia saya.
Kegelisahan saya
tampaknya bermula dari ini. Studi saya hampir selesai, tapi rasanya tak memuaskan;
saya masih perlu belajar lebih banyak. Saya masih ingin belajar. Lalu seseorang
mengingatkan saya bahwa sebaik-baiknya orang hidup adalah yang berguna bagi orang
lain. Nah, apakah ilmu yang saya dapat sudah berguna bagi orang lain? Begitu
tanyanya.
Saya jengkel dengan
pertanyaan macam ini. Bukan karena pertanyaanya salah. Tapi karena saya tidak
punya jawaban apa-apa. Menyadari saya belum melakukan apapun untuk kebaikan
orang lain buat saya makin putus asa.
Kali
ini saya marah pada diri sendiri, pada kesombongan yang saya pelihara dihati
dan pikiran. Kesombongan yang entah sejak kapan hidup disana, yang
keberadaannya tak pernah saya sadari, atau bisa saja ia tumbuh membesar seiring
perubahan diri saya dari anak-anak menjadi perempuan dewasa. Jika musuh pada quarter life crisis pertama saya adalah
keadaan yang perlu di taklukan, kali ini ternyata musuhnya adalah diri saya
sendiri; dalam bentuk kesombongan dan kepongahan. Saya juga panik, karena tahu
dengan pasti bahwa melawan hal ini jauh lebih sulit. Mungkin butuh seumur hidup.
Sial, jadi dewasa
kenapa sulit sekali, ya.
Komentar