Begitu Sulitkah Kita Menerima RUU P-KS?*
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) jadi bahan perbincangan lagi. Akan tetapi, kali ini bukan karena petisi yang dibuat oleh Maimon Herawati, melainkan karena pernyataan Tengku Zulkarnain—seorang pemuka agama, yang beranggapan bahwa RUU ini bisa membuat seorang istri melaporkan suaminya dengan tuduhan melakukan kekerasan seksual hanya karena perkara “sang istri sedang tidak mood”. Ya, pernyataaan tersebut dimaksudkan kepada hubungan persetubuhan antara suami dan istri.
Tengku Zulkarnain sendiri mengatakan ini pada debat terbuka yang disiarkan oleh stasiun televisi swasta, setelah sebelumnya ia sempat berceramah di beberapa daerah dengan mengatakan bahwa jika DPR mengesahkan RUU P-KS, berarti pemerintah melegalkan perzinaan dan akan menyediakan kondom beserta alat kontrasepsi lainnya. Meskipun pada akhirnya beliau meminta maaf karena telah salah memahami isi draft RUU P-KS, “Stlh mencermati isi RUUP-KS sy tdk menemukan pasal penyediaan alat kontrasepsi oleh Pemerintah utk pasangan Remaja dan Pemuda yg ingin melakukan hubungan suami isteri. Dengan ini saya mencabut isi ceramah saya tentang hal tersebut. Dan meminta maaf krn mendapat masukan yg salah,” cuitnya di akun Twitter pribadinya @ustadtengkuzul. Namun, perlu dicatat, ia hanya meminta maaf karena telah salah memberikan isi ceramah, bukan untuk menyetujui RUU P-KS, karena dalam statement-nya yang lain, Tengku Zulkarnain mengatakan tak akan menerima RUU ini bahkan sampai kiamat sekalipun.
Meski alasan penolakan yang dilakukan Tengku Zulkarnain dan Maimon Herawati tampak irasional bagi saya, nyatanya mereka tak sendiri. Petisi online yang buat oleh Maimon di laman Change.org bahkan ditandatangani oleh lebih dari 150 ribu pengunjung hanya dalam beberapa hari. Jumlah tersebut justru melebihi jumlah tanda tangan petisi yang dibuat oleh Lentera Indonesia yang mencari dukungan untuk RUU ini sejak tahun 2016. Hal ini menjadi pertanyaan bagi saya: apa sebenarnya yang membuat RUU P-KS begitu sulit diterima oleh masyarakat kita?
Idealnya, sebuah kebijakan yang dibuat memang selalu memunculkan sikap pro dan kontra, dan ini merupakan hal yang bagus. Reaksi masyarakat terhadap sebuah kebijakan—entah yang baru akan dibuat maupun sudah dibuat, merupakan input-output dalam sistem politik kita, sehingga memungkinkan sistem terus bekerja dan memperbaiki dirinya sendiri.
Sudah banyak tulisan yang membahas mengenai RUU P-KS, terutama sejak Maimon Herawati membuat petisi daring. Sejatinya, RUU P-KS berbicara mengenai perlindungan korban kekerasan seksual seperti yang tertulis dalam Pasal 4 drafnya, melingkupi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban, serta penindakan pelaku. RUU P-KS juga mengatur definisi kekerasan seksual sebagai dasar norma mengikat di Pasal 1 poin 1 yang berbunyi:
“Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Penolakan Maimon Herawati karena menganggap RUU ini pro zina yang bertentangan dengan agama dan tidak mencerminkan nilai-nilai pancasila, serta penyataan Tengku Zulkarnain yang sudah saya sebutkan di atas—yang kini diberitakan dengan ramai, menurut saya justru membuat masyarakat semakin jauh dari pemberitaan mengenai tujuan yang sebenarnya, yaitu perlindungan korban.
Saat pertama kali membaca mengenai penolak Maimon Herawati, saya tak habis pikir bagaimana bisa seorang perempuan menolak kebijakan yang memang dimaksudkan untuk melindungi kaumnya sendiri. Menurut saya, ibu Maimon bahkan tak memiliki empati kepada perempuan. Saya setuju dengan pendapat Musdah Mulia, Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)—yang dikutip dari DW, ia mengatakan bahwa arus penolakan RUU PKS oleh kaum perempuan digerakkan oleh upaya merawat gambaran perempuan tradisional yang didefinisikan oleh masyarakat patriarki. Belakangan saya baru mengetahui ini, selain sebagai Pengajar di sebuah Perguruan tinggi, Maimon Herawati adalah penggerak kelompok Aliansi Perempuan Cinta Pertiwi, sebuah kelompok yang mengkampanyekan pemahaman konservatif tentang keluarga. Itulah alasan kenapa ia memiliki banyak dukungan.
Lain halnya dengan statement Tengku Zulkarnain, cuitannya di Twitter mengenai “hasrat seksual suami dan kewajiban istri untuk memenuhinya”, mendapat komentar yang negatif bahkan dari kaum adam. Namun, pernyataan beliau bahwa istri bisa memenjarakan suami karena dianggap melakukan kekerasan seksual, bisa membuat banyak lelaki berpikir: “bagaimana jika hal itu betul-betul terjadi?”
Seorang kawan menanggapi pemberitaan ini dan mengatakan bahwa sebaiknya RUU P-KS ini memang perlu dikaji lagi, menurutnya jangan karena solidaritas jenis kelamin, kita mendukung dominasi jenis kelamin tertentu yang akhirnya nilai-nilai equality menjadi samar. Mengenai hal ini saya pun setuju, alih-alih menolaknya dengan alasan irasional yang sebetulnya cuma anggapan berlebihan dari pihak-pihak tertentu, yang kemudian diberitakan dengan ramai dan justru bisa menimbulkan ketakutan.
Beberapa waktu lalu, Tempo.co memberitakan bahwa DPR memutuskan untuk melanjutkan pembahasan mengenai RUU P-KS, setelah sebelumnya mengatakan akan menunda pembahasan sampai April mendatang, lebih tepatnya akan dibahas kembali setelah Pemilu. Bagi saya ini berita menggembirakan, bagaimanapun juga kekerasan seksual terhadap perempuan itu nyata. Angka yang disebutkan oleh Komisi Perempuan semakin tahun semakin tinggi. Merujuk pada laporan Komnas Perempuan, angka kekerasan sempat turun pada 2016 dari 321.752 laporan pada tahun 2015 menjadi 259.150 laporan. Angka kembali melonjak pada 2017 yang mencapai 348.446 laporan. Sementara data tahun ini sedang direkapitulasi dan akan dirilis pada akhir Maret 2019. Kita perlu membuat sebuah perlindungan dan juga gerakan kesadaran mengenai hal ini, bahwa dengan melindungi perempuan merupakan usaha untuk melindungi nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan mendukung pemerintah untuk melakukan pembahasan mengenai RUU P-KS ini, setidaknya kita memberikan kesempatan rancangan tersebut untuk dikaji ulang sesuai dengan aspirasi tentang segala hal yang belum bisa dilakukan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Anak, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan KUHP, serta Undang-Undang lain yang belum mampu menutup celah terhadap kekerasan seksual.
Contohnya begini; dalam KUHP disebutkan bahwa perempuan bisa dikatakan sebagai korban pemerkosaan hanya jika terjadi penetrasi penis pada vagina yang tidak teratur, dan dibuktikan melalui visum. Ini bisa sangat menyulitkan perempuan untuk mendapatkan perlindungan hukum. Masalahnya adalah, bagaimana jika perempuan tersebut mendapat serangan fisik terlebih dahulu, seperti dibius; atau mendapat serangan secara psikis dengan mengancam nyawa. Bukankah ukuran penetrasi tadi sangat sulit dibuktikan pada kasus-kasus seperti itu? Untuk itulah saya berpikir seharusnya kita memang mendukung RUU P-KS alih-alih menolaknya dengan alasan tak masuk akal. Jika terdapat poin-poin yang dianggap belum tepat, atau tidak relevan, sebaiknya disampaikan agar menjadi masukan baru untuk anggota DPR maupun Komnas Perempuan sebagai penggagas.
Sampai tulisan ini selesai (24/3), saya masih belum menemukan apa yang sebetulnya menyebabkan sebagian pihak menolak RUU P-KS. Banyak yang mengatakan bahwa RUU ini bertentangan dengan agama—meskipun kenyataannya bagi saya, atribut-atribut religius tak bisa menghindari terjadinya pelecehan dan kekerasan seksual, karena siapa saja bisa menjadi korban; dari segala jenis usia, jenis kelamin, dan juga gender.
Kalau memang sulit untuk mendukung RUU P-KS, kita bisa mengawalinya dengan cara menyetarakan pikiran kita, menghindari perkataan seksis dan diskriminatif. Memulai keadilan sejak dalam pikiran.[]
*Tulisan ini pertama kali diterbitkan oleh semantik.id dengan judul sama pada tanggal 25 Maret 2019
Komentar