Membaca Fenomena Politik Identitas di Indonesia melalui Buku Amartya Sen*
Foto Dok: Semantik.Id |
Sudah sejak lama bangsa ini
mengklaim dirinya sebagai bangsa toleran, santun, dan berbudaya. Persis seperti
semboyan bhineka
tunggal ika yang memiliki arti “berbeda-beda tapi tetap satu”.
Semboyan yang diambil dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular pada masa kerajaan
Majapahit itu, menjadi moto bangsa Indonesia yang melambangkan persatuan di
tengah keberagaman. Tapi benarkan begitu?
Tampaknya kita harus merenungkan kembali hal ini.
Pendidikan sekolah selama 12 tahun—atau mungkin lebih,
nyatanya tidak cukup membuat kita memahami betul makna semboyan bhineka
tunggal ika. Hal ini baru saya sadari sekarang, di masa penuh
ketegangan dalam menghadapi tahun politik, saat kita—sesama anak bangsa,
semakin jauh dari toleransi dan semakin sulit menerima perbedaan. Kita juga
kerap terlalu “mendewakan” kepentingan kelompok, entah itu kelompok agama,
afiliasi politik, kelompok berbasis ras, dan lain-lain. Kita saling mencela,
menyindir, memprovokasi sehingga muncul persekusi yang kerap menimbulkan tindak
kekerasan. Bagi saya, persekusi kini sama menakutkannya dengan peperangan.
Keduanya menghancurkan tatanan sosial di masyarakat sekaligus mencabut hak-hak
hidup bagi orang lain.
Apa yang sebetulnya menyebabkan kita—sebagai sebuah
bangsa besar dengan keberagaman ini—kerap memiliki masalah yang dilandasi
secuil perbedaan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya mencari jawaban
dengan mengulas sebuah buku yang ditulis oleh Amartya Sen, seorang ekonom dan
filsuf asal India peraih hadiah nobel ekonomi tahun 1998. Buku
ini terbit dengan judul “Identity and Violence: The Illusion
of Destiny” (W.W Norton and Company, 2006), kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia oleh Arif Susanto dengan judul
“Kekerasan dan Identitas”.
Buku ini memang tidak secara
eksplisit menceritakan apa yang terjadi di Indonesia, Sen justru berangkat dari
pengalamannya melihat dan merasakan bahwa masalah identitas ini bukan hanya
terjadi di India, tetapi juga ia rasakan di negara di mana ia kini tinggal:
Inggris. Menurutnya, masalah identitas menjadi rumit manakala ada pergeseran
identitas pribadi menjadi identitas sosial. Identitas sosial inilah yang kerap
dibenturkan dengan identitas lainnya, contohnya identitas agama atau
kebudayaan. Benturan-benturan ini kemudian menimbulkan pelbagai tindak
kekerasan. Setiap kelompok berusaha menegaskan identitas kelompoknya dari
kelompok lain, dan memicu terjadinya pertikaian sektarian. Meskipun tak
bisa dipungkiri rasa akan kesamaan identitas bisa memberi sumbangan berarti
bagi kekuatan dan kehangatan hubungan kita dengan pihak lain, seperti tetangga,
komunitas, sesama warga negara yang sama, dan juga penganut agama yang sama.
Sen melihat bahwa banyak
konflik dan kekejaman di dunia ini dipupuk melalui ilusi tentang adanya sebuah
identitas tunggal dan tanpa pilihan, saat timbulnya pra-anggapan bahwa manusia
bisa dikategorikan berdasarkan keseragaman agama atau budaya saja. Padahal
menurut Sen, tidak ada manusia yang identitasnya betul-betul tunggal. Contoh
sederhananya, seorang Indonesia beragama Islam bukan hanya seorang muslim,
melainkan pula sebagai orang Jawa—atau suku manapun di Indonesia, sekaligus
warga negara Indonesia, yang umumnya bangga akan bahasa dan budayanya. Belum
lagi identitas lainnya seperti gender, kelas ekonomi, pekerjaan, pandangan
politik, citarasa seni, sastra, dan lain-lain, yang mempengaruhi bagaimana cara
berpikir setiap orang. Seseorang bisa saja memiliki keyakinan agama yang
kuat—entah Islam atau agama yang lainnya, dan pada saat yang sama meyakini
sikap politik yang toleran juga liberal.
Sang filsuf memberikan contoh
dengan menggambarkan bahwa Akbar, Kaisar Mogul—yang terlahir sebagai muslim,
yang terkenal karena rasa toleransinya yang tinggi dan memberikan kebebasan
beragama bagi setiap penduduk. Hal yang perlu dicatat adalah Akbar bebas
berkehendak untuk mewujudkan pandangan politiknya yang liberal tanpa
menanggalkan keislamannya. Sedangkan Aurangzeb, Kaisar Mogul yang lain, bisa
mengabaikan hak-hak minoritas dan justru menindas yang bukan penganut Islam,
juga tanpa perlu menaggalkan keislamannya. Di sini kita bisa
memahami bahwa prioritas dan tindakan manusia dipengaruhi oleh segenap afiliasi
dan asosiasi yang di milikinya, dan tidak semata-mata oleh agama.
Klasifikasi berdasarkan agama
atau peradaban tentu saja dapat menjadi sumber distorsi yang memicu permusuhan.
Belum lagi, kita kerap melihat sikap keras dari kelompok-kelompok tertentu
untuk mendesakkan, meski hanya secara tersirat, suatu identitas manusia yang
tunggal dan tanpa pilihan. Hal ini tidak hanya akan membuat kita semakin
kerdil, melainkan pula membuat dunia semakin membara. Nilai kemanusiaan di
antara kita dipampatkan ke dalam suatu sistem kategorisasi tunggal yang
semena-mena.
Melalui buku ini, Sen mangajak
kita untuk kembali memahami apa arti identitas itu. Kita akan diajak menelusuri
sekaligus melakukan penalaran ulang mengenai berbagai gagasan, yang meskipun
klise, masih sangat relevan. Gagasan-gagasan ini mencakup mengenai globalisasi
ekonomi, multikulturalisme politik, fundamentalisme keagamaan, sejarah
pascakolonial, entitas sosial, serta terorisme global. Akan tetapi, saya
pribadi memiliki keterbatasan untuk mengulas seluruh bagian dari isi buku ini,
sehingga tak menjelaskan setiap point-nya.
Salah satu yang menarik dari
buku ini dalah bagaimana Sen mencoba membantah teori benturan antarperadaban
milik Samuel P. Huntington secara filosofis dan metodologis. Menurutnya,
pengkotak-kotakkan peradaban seperti yang dilakukan Huntington; dengan
membagi-bagi dunia menjadi “dunia Barat”, “dunia Hindu”, “dunia Islam”, “dunia
Timur”, dan lain sebagainya, adalah salah satu kesalahan yang dilakukan oleh
ilmu pengetahuan. Disadari maupun tidak, pembagian ini berakibat pada lahirnya
anggapan bahwa kekerasan atas nama identitas adalah sesuatu yang lumrah. Meski
kita merasa “jijik” atas kekerasan yang terjadi, pada akhirnya kita akan
menerima hal ini sebagai bagian dari hubungan sebab-akibat.
Sesuatu yang lumrah tersebut,
tampaknya kita alami sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Baru-baru
ini, secara beramai-ramai kita mencela pemotongan salib pada makam di Kotagede,
menyatakan hal itu sebagai tindakan intoleran. Namun, ketika muncul bantahan
bahwa yang dilakukan masyarakat tersebut adalah bagian dari mensucikan
area—yang katanya berkaitan dengan salah satu tokoh penyebar agama Islam, juga
karena adanya sebutan “kampung adat islam” di sana—maka kita pun beramai-ramai
diam. Tapi bisakah begitu? Apakah dengan adanya sematan sebagai “kampung adat
islam”, masyarakat di sana berhak melakukan tindakan tersebut?
Tentu kita masih ingat kasus
yang menimpa seorang perempuan bernama Meiliana di Tanjung Balai, yang
menghadapi proses hukum karena dianggap masyarakat setempat telah menistakan
agama Islam; dengan mengeluhkan volume suara azan yang terlalu keras. Keluhan
Meiliana kemudian mendapatkan reaksi yang lebih keras lagi. Tak hanya
dilaporkan ke polisi dan ditetapkan sebagai tersangka, sebelumnya ia dan
keluarganya sudah lebih dulu mendapatkan amukan masyarakat, tak lama setelah ia
mengeluhkan suara azan pada salah satu tetangganya yang kebetulan seorang
muslim. Kemarahan masyarakat menyebabkan Ia dan keluarganya mengalami tekanan
sosial. Rumah Meiliana, kelenteng, dan vihara di
sekitar rumahnya pun tak luput menjadi objek kemarahan.
Dua kasus di atas hanyalah
contoh kecil dari apa yang digambarkan Sen sebagai pembelaan identitas yang
berlebihan, dan salah satu akibat dari adanya pemaksaan identitas tunggal. Kita kerap bertikai satu sama lain untuk menentukan
siapakah yang paling benar dalam hal ini. Kelompok yang satu menyebut kelompok
lainnya sebagai intoleran, lalu dibalas dengan sama kerasnya dengan tudingan
sebagai agen liberal.
Atas nama identitas, kita
pernah mengusir orang-orang dari rumahnya sendiri, membuat mereka terpisah dari
sanak keluarga, sekaligus kehilangan pekerjaan hanya karena kita mengenal
mereka sebagai Ahmadiyah, Gafatar, Hakekok, Komunis, Ateis, dan sebagainya.
Mereka menjadi kelompok yang paling termarjinalkan dalam tatanan sosial
masyarakat. Masyarakat kita juga pernah terpecah-belah, antara NU-Muhammadiyah,
Sunni-Syiah, Islam Nusantara-Islam Arab, Aseng-Pribumi, dan lain sebagainya.
Lalu segala perbedaan ini di pelintir dengan berbagai cara oleh para elit
politik yang haus akan kekuasaan.
Kita sebetulnya sadar akan
semua itu, tetapi narasi yang di bangun ternyata lebih kuat dan mampu
mengalahkan nalar kita sendiri. Hanya sedikit orang yang betul-betul berani
bicara, selebihnya kita diam; antara sengaja diam untuk tak memperkeruh
suasana, atau memang karena tak lagi peduli. Bisa juga karena karena takut
dianggap berbeda dari mayoritas, sehingga kita lebih memilih berada pada
wilayah abu-abu, tak menentukan sikap secara jelas. Barangkali sumber utama
langgengnya kekisruhan di sekitar kita adalah pengabaian, serta penampikan
terhadap peran nalar dan pilihan, yang muncul dari pengakuan bahwa identitas
kita majemuk.
Sen mengatakan bahwa ilusi
tentang identitas tunggal sebenarnya jauh lebih memecah-belah ketimbang
beragamnya jenis-jenis klasifikasi yang mencirikan dunia tempat kita tinggal.
Kelemahan mencolok kategorisasi tunggal yang tanpa pilihan ini sungguh-sungguh
berdampak pada melemahnya daya jangkau nalar sosial-politik kita. Ilusi tentang
takdir meminta harga yang luar biasa mahal. Ya, kita—segenap anak bangsa, hari
ini sedang membayarnya.
Judul Buku: Kekerasan dan
Identitas
Penulis: Amartya Sen
Terjemahan: Arif Susanto
Penerbit: Marjin Kiri
ISBN: 978-979-1260-54-1
242 + xxii hlm.; 14 x 20,3 cm
*Tulisan ini pertama kali di terbitkan oleh Semantik.Id dengan judul yang sama pada tanggal 13 Januari 2019
Komentar