Soe Hok Gie; yang Hidup dalam Kematiannya
Cover buku itu berwarna putih,
dengan tulisan dan gambar yang sudah pudar di beberapa bagian. Tentu saja warna
putih itu bukan warna sebenarnya, itu hanya buku hasil photocopy, milik kakak sepupu saya. Tapi yang pasti, buku itulah
yang mengenalkan saya dengan satu nama yang beberapa hari lalu berulang tahun;
Soe Hok Gie.
Saat itu saya
berumur 14 tahun, kelas 2 SMP. Pertama kali melihat buku itu, saya bertanya
“ini buku apa?‘ dan dengan entengnya
kakak sepupu saya bilang “baca aja, nanti juga tahu sendiri“.
Saat membaca judul bukunya;
“Catatan seorang Demonstran“ saya bahkan tidak paham demonstran itu apa. Pun
tidak memahami bahwa apa yang dilakukan Gie ternyata luar biasa, bagi dunia
pergerakan mahasiswa dan perubahan arah politik Indonesia di era Orde Lama.
Tapi saya suka membaca buku itu, kata-kata “politik”, “pergerakan”,
“mahasiswa”, “demonstrasi”, “perjuangan” seakan-akan membius saya−anak kelas 2
SMP−yang bahkan tidak paham politik itu apa. Selepas membaca buku itu, saya
katakan kepada orang tua bahwa saya ingin jadi mahasiswa sekaligus aktivis
kampus. Saya mau jadi seperti Soe Hok Gie. Mereka hanya tersenyum dan berkata
“tentu saja kamu akan kuliah”. Bertahun-tahun kemudian saya baru menyadari
bahwa mereka tidak mengetahui apapun mengenai Gie.
Saya termasuk
anak yang beruntung karena tumbuh dewasa di era pasca reformasi. Artinya, saya
adalah generasi pertama yang merasakan keterbukaan informasi, termasuk akses
terhadap buku-buku. Kabarnya, buku-buku Gie adalah salah satu buku yang
terlarang di era Orde Baru. Buku itu menyebar dari tangan ke tangan dan secara
sembunyi-sembunyi. Umunya di kalangan mahasiswa.
Buku Catatan
seorang Demostran berisi tulisan-tulisan Gie yang berhasil dikumpulkan oleh
kawan-kawannya dan diterbitkan tahun 1983 melalui lembaga LP3ES, dari buku ini
kita mengetahui apa saja yang menjadi pergolakan batinnya. Seorang pemuda
keturunan Tionghoa yang berani jujur atas apa yang terjadi, ketidakadilan yang
dilihatnya, kesewenang-wenangan yang dirasakannya. Ia seperti martir, keras
kepala seperti batu, bahkan bersitegang dengan kakak nya sendiri pada usia remaja
karena berani mempertahankan prinsip dan pandangan yang dianggap baik olehnya.
Pada tahun 1997, seorang penulis kebangsaan
Australia menerbitkan sebuah buku berjudul Soe
Hok Gie - A Biography of A Young Indonesian Intellectual (Australian
National University, 1997). Dalam bahasa Indonesia, buku ini berjudul “Soe Hok
Gie. Pergulatan Intelektual Muda melawan Tirani”. Buku ini lebih menceritakan
kehidupan sehari-hari Soe Hok Gie, terutama bagaimana keluargannya membentuk
pribadi Gie.
Pada Desember tahun 1969, Gie dan rekan-rekannya di Mapala UI berangkat untuk mendaki gunung Semeru. Gie yang berencana untuk merayakan
hari ulang tahunnya di tanah tertinggi pulau jawa itu justru harus kehilangannya
nyawanya disana, tepat satu hari sebelum ulang tahunnya yang ke 27. Ia yang mati muda sebagai pemberani,
meski ditahun-tahun terakhir hidupnya justru menarik diri dari dunia pergerakan
dan lebih banyak menulis, juga mengajar. Sebelum pergi, ia sempet
mengirimi teman-temannya yang duduk di dewan mahasiswa dengan lipstik dan
bedak. Ini sebagai protes dan kekecewaannya terhadap mereka yang duduk
nyaman yang kini berada di pusat kekuasaan, dan justru melupakan cita-cita
pergerakan.
Dalam satu
catatannya ia menuliskan ini, "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang
kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah
mereka yang mati muda”
Maka Gie,
berbahagialah kini. Karena kau yang sudah menyatu dengan alam, nyatanya hidup
lebih lama dari kami yang berjasad ini. Kau tetap hidup dalam pikiran-pikaran
kami, dan akan tetap kami hidupkan pada generasi-generasi setelah kami.
Komentar