Review Film: in The Land of Blood and Honey


Ajla dan Danijel adalah dua orang yang bertemu di sebuah klub malam, berdansa lalu saling jatuh cinta. tak berselang lama, sebuah ledakan bom menghancurkan tempat itu sekaligus melukai hampir seluruh pengunjungnya, termasuk keduanya.

Adegan tersebut menjadi pembuka dari film bergendre drama perang ini, yang juga juga merupakan debut Angelina Jolie sebagai produser, sutradara sekaligus penulis skenario. film ini rilis pada tahun 2012 lalu. Namun saya harus katakan bahwa adegan dansa tersebut menjadi satu-satunya adegan "manis" sepanjang film. Sesuai gendrenya, film yang berlatar belakang Perang Bosnia ini memang menyuguhkan beberapa fakta, seperti perang antaretnis Bosnia dan Serbia serta usaha genosida yang dilakuan Serbia terhadap muslim Bosnia.

Empat bulan setelah peledakan bom, Ajla bertemu lagi dengan Danijel dalam sebuah Kamp militer. Tentu saja keadaannya sangat berbeda, Danijel bukan lagi Polisi sebagaimana Ajla mengenalnya dulu, tetapi sudah sudah menjadi tentara Serbia. Sebagai muslim Bosnia, posisi Ajla disini sudah sangat jelas; ia menjadi tahanan perang. Lalu kamp perang menjadi pusat segala cerita dalam film ini. Hubungan keduanya menjadi menarik dan rumit. Danijel yang masih menyimpan perasaan, mencoba melindungi Ajla dari kekejian tentara lain dengan mengatakan bahwa perempuan itu adalah "properti-nya". Terlihat bahwa pada awalnya Ajla ragu mengenai hal ini, tetapi Danijel meyakinkan bahwa ia sesungguhnya membenci perang, ia hanya tak punya pilihan. Pada satu hari, Danijel mengakatan bahwa ia dipindah tugaskan ke Sarajevo, sebuah markas besar tentara Serbia, dan meminta Ajla melarikan diri secepatnya setelah ia pergi. Meski gagal berkali-kali, Ajla berhasil kabur dan akhirnya bertemu dengan kelompok kecil muslim Bosnia, sekaligus bertemu dengan saudara perempuannya.

Di dalam perang ini, Ajla dan Danijel menjadi tokoh protagonis, meskipun pada akhirnya Ajla lebih  terlihat seperti korban pasif dan Danijel yang seperti tentara kebingungan antara moralitas dan loyalitas. Tokoh antagonis dalam film ini justru seorang lelaki tua bernama Nebojsa, seorang Jenderal tentara Serbia yang juga ayah dari Danijel. Sang Ayah sekligus jenderal besar ini jelas tak menyetujui hubungan anaknya dengan perempuan yang meski cantik, tetap saja seorang muslim Bosnia. kemunculannya di awal cerita dan akhir cerita jelas menjadi benang merah dalam film ini.

Film ini memang menyajikan fakta-fakta terkait perang Bosnia. Menariknya, film ini menggunakan bahasa Bosnia dan bukannya bahasa Inggris sebagaimana biasanya film Hollywood, juga dibintangi oleh artis-artis Bosnia. Meskipun dinilai terlalu ambisius, Jolie cukup apik membalut kisah perang dengan romansa yang tak berlebihan namun tetap membuat kita merasa hangat saat menontonnya. Lihat saja bagaimana Danijel selalu merasa tenang ketika menemukan bahwa Ajla tertidur di ranjangnya, atau ketika membuka pintu dan ternyata gadis itu sedang melukis. Ya, Ajla adalah seorang pelukis. mengenai hal ini ia baru menceritakannya ketika mereka baru bertemu kembali di kamp tahanan, sama seperti Danijel yang baru menceritakan bahwa ayahnya seorang Jenderal dan kehilangan ibunya saat dalam perang etnis antara Serbia-Bosnia. Bagi saya, film ini juga sangat jujur, Jolie justru memperlihatkan apa yang disembunyikan banyak pihak mengenai perang ini, yaitu terjadinya pemerkosaan masal pada perempuan-perempuan Bosnia, terutama mereka yang menjadi tahanan perang. Adegan-adegan pemerkosaan ini bahkan tidak di sensor sama sekali, jelas, Jolie memang ingin menunjukan hal tersebut. Sensor ini juga tidak berlaku pada hubungan Ajla-Danijel, romansa keduanya di perlihatkan secara jelas.

Saya masih berumur 4 tahun ketika perang Bosnia terjadi. Perang ini terjadi pada awal tahun 1992 sampai 1995, sehingga pengetahuan saya sedikit sekali. Saya pernah membaca catatan-catatan mengenai perang ini diawal masa-masa kuliah saya, tetapi tak pernah membayangkan bahwa perang ini sungguh luar biasa. Dicatat dalam sejarang merupakan perang yang paling sulit dihadapi pada masa modern. konflik etnis ini terjadi ketika Bosnia mendapatkan pengakuan kedaulatan sebagai negara berdaulat. Hal ini jutsru memicu kekecewaan diantara kelompok Kristen Serbia, dan melakukan agresor terhadap Muslim Bosnia.

Selama 3,5 tahun peperangan, tercatat sebanyak lebih dari 100 ribu orang kehilangan nyawanya, dan mayoritas adalah lelaki usia produktif kerja. Lebih dari 2,2 juta orang kehilangan tempat tinggal dan lebih dari 20 ribu perempuan menjadi korban pemerkosaan. Mengenai korban pemerkosaan ini, saya ingat pernah membaca catatan bahwa setelah perang selesai, banyak perempuan Bosnia yang mengajukan agar dilegalkannya aborsi. Hal ini terjadi karena mereka bahkan tak bisa menanggung beban harus membesarkan bayi-bayi dari orang Serbia, sekaligus mengingat kekejaman perang yang mereka sudah alami.

Film ini juga tak serta merta diterima di Bosnia, bahkan kabarnya sebagian  masyarakat disana menolak dengan alasan tak ingin di ingatkan mengenai kekejaman perang tersebut. Sebagian yang lain juga mengencam Jolie karena hanya menampilkan sejarah dari satu sisi, yaitu dari sisi Bosnia saja dan justru menjadikan Serbia sebagai penjahat perang. Kita yang tinggal di Indonesia justru akan setuju dengan sudut panjang Jolie, karena pada saat itu, Indonesia adalah salah satu negara yang mengecam aksi etnis Serbia. Sebagai sesama negara yang mayoritasnya muslim, Soeharto, Presiden Indonesia pada saat itu-yang katanya sedang di rindukan oleh segenap bangsa Indonesia- bahkan sampai turun langsung ke medan perang.

Kembali pada film, saya lupa kapan tepatnya pertama kali menonton film ini, mungkin sekitar tahun 2013. Tapi film ini menarik bukan hanya karena fakta sejarahnya. Hubungan emosional antara Ajla dan Danijel lah yang membuat saya selalu menonton ulang film ini. Pada satu titik, saya seperti Danijel yang percaya bahwa Ajla adalah oase bagi hidupnya, kesunyian yang dia temukan diantara keriuhan perang dan bising suara senjata. Saya juga percaya Ajla memiliki perasaan yang sama. Tapi pada titik yang lain saya juga memaklumi Ajla yang ternyata sengaja agar ditangkap (untuk kedua kalinya) sehingga ia kembali bertemu denngan Danijel sebagai mata-mata. Bagaimanapun, perempuan itu adalah korban perang. Ia ingin perang ini berhenti, apapun caranya, bahkan ketika harus mengorbankan nyawa kekasihnya-sekaligus nyawanya.

Tidak ada happy ending pada akhir cerita. Ajla kehilangan nyawa ditangah kekasihnya sendiri. Danijel menjadi frustasi setelah membunuh Ajla, lalu secara sadar menyerahkan dirinya ke markas NATO dan mengakui bahwa ia adalah seorang penjahat perang. Akhir yang tidak bahagia ini juga membuat saya berkali-kali menahan sesak. Padahal saya sadar ini hanyalah sebuah film. Bagi saya, mereka berdua adalah gambaran tentang emosi-emosi manusia yang tetap ada meski dalam perang sekalipun. Sebuah film biasanya akan menunjukan siapa pahlawan dan siapa musuhnya. Tetapi film ini tak menunjukan itu, karena mereka berdua bukan pahlawan, juga bukan penjahat. Mereka adalah cermin bagi masing-masing, kelemahan dan kekuataan yang nyaris datang bersamaan.



Komentar

fikri afryan mengatakan…
Bu, coba nonton "A Taxi Driver" lanjut sama "1987: When The Day Comes" tapi sebelumnya harus baca novel Han Kang yang Mata Malam dulu. Kamu bakalan ngerasain suasana Orba a la Korea Selatan~

Postingan Populer