Lelaki Feminis, Why Not?

(Picture: cosmopolitan.com)


"Setiap orang yang tertarik pada ide-ide demokrasi, toleransi dan Hak Asasi Manusia, pasti tertarik pada feminisme. Hak-Hak perempuan adalah hak asasi manusia, keduanya tidak terpisahkan. Di abad ke-21 ini, setiap orang yang ingin disebut sebagai orang yang demokratis, toleran dan menghargai manusia, maka orang tersebut harus bisa berbahasa feminisme. Laki-laki sekarang yang tidak dapat berbahasa feminisme adalah laki-laki yang tidak dapat berkomunikasi dengan zamannya"

-Gadis Arivia


Setiap saya berbicara mengenai feminisme, entah dalam obrolan sambil lalu atau diskusi warung kopi, kawan-kawan bicara saya sering kali salah memahami ini, feminisme selalu dikaitkan dengan sesuatu yang "abu-abu"; tidak jelas maksud dan tujuannya. belum lagi anggapan-anggapan bahwa orang yang berbicara mengenai hal ini selalu dicitrakan sedang melawan laki-laki, membenci laki-laki, tidak percaya pernikahan dan yang terburuk adalah adanya anggapan bahwa hal ini menentang norma agama dan budaya ketimuran, padahal anggapan ini jelas salah. Saya selalu mengatakan bahwa feminisme itu tidak bermaksud untuk mengganti dominasi patriarki menjadi dominasi matriarki. Memang, tidak semua kawan bicara saya bersikap serupa, ada yang mendengarkan lalu menanggapi dengan baik atau hanya sekedar mendengarkan tanpa berkomentar apapun. Tapi ya itu, hanya sedikit sekali.

Dalam arti sederhananya, feminisme adalah gerakan, ya, sebuah gerakan untuk kesetaraan gender, bahwa perempuan dan laki-laki harus setara dimata hukum, setara dalam hak-hak politik, setara dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Sejarah panjang dari feminisme bisa dibaca dalam banyak literatur, tercatat bahkan gerakan bermula ini di akhir abad ke-18 dan berkembang pesat di abad ke-19, hal ini tidak lain dengan menyebarnya tulisan Marry Wollstonecraf yang berjudul A Vindication of The Right of Woman yang berisi kritik terhadap revolusi Prancis yang hanya berlaku bagi laki-laki tetapi tidak berlaku untuk perempuan. di Amerika Serikat sendiri, gerakan-gerakan ini bahkan bermula dengan di terbitkannya sebuah buku berjudul The Feminine Mystique oleh Betty Friedan pada tahun 1963, namun tidak ada buku yang lebih komprehensif untuk menelusuri pemikiran feminisme yang beragam selain buku berjudul Feminist Thought oleh Rosemarie Tong, yang diterbitan pada tahun 1997 tersebut.

Tapi apakah untuk memahami feminisme kita harus membaca buku dan literatur-literatur tersebut? atau apakah menunjukan sikap sebagai feminis harus sesuai dengan apa yang tertulis didalam buku-buku tersebut? Tentu saja jawabannya tidak perlu. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mencoba memahami feminisme sebagai sebuah gerakan kemanusian, bahwa tidak ada dikotomi antara perempuan dan laki-laki dalam hal peran dan kesempatan untuk mendapat pengakuan dalam ruang-ruang publik, tidak ada bias gender hanya karena di si A terlahir sebagai laki-laki atau si B sebagai perempuan, sehingga memunculkan stigma-stigma bahwa pekerjaan ini hanya bisa dilakukan si A dan pekerjaan ini hanya bisa dilakukan si B. Tidak adil, kan? lha, gerakan ini memang lahir karena adanya ketidakadilan, kok. Dan apakah gerakan feminisme ini hanya bisa dan hanya perlu dilakukan oleh perempuan tanpa melibatkan laki-laki?

"Lho, ini kan gerakan perempuan, namanya aja feminisme, yang punya kepentingan perempuan, hasilnya juga buat perempuan,  kita (laki-laki) ga punya urusan untuk itu!"

Ayolah, guys. coba deh kita perluas lagi perspektif kita dari sisi yang lain, kalau perlu kita pakai kacamata 3D seperti kalau kita menonton film-film di bioskop, kacamata yang bisa membuat kita melihat dari berbagai sisi. asik, kan, itu? nahh, "kacamata" yang sama kita pakai juga untuk memahami bias gender ini. Gender yang saya maksud bukan hanya sekedar berbicara mengenai seks (jenis kelamin) antara perempuan dan laki-laki, tetapi bagaimana individu yang terlahir tersebut mendapatkan pencirian sosial sebagai laki-laki atau perempuan, kemudian adanya penyematan atribut-atribut maskulinitas maupun feminitas yang sering didukung oleh sistem, nilai-nilai maupun simbol yang berlaku di dalam masyarakat. Sederhananya, gender adalah konstruksi sosial akibat adanya benturan dari penyematan atribut-atribut kepada individu; laki-laki dan perempuan. contohnya begini deh, kita pasti sering mendengar kalau laki-laki ga boleh nangis, "ah, ga laki banget" atau "laki-laki nangis itu bencong" atau kira-kita begitulah tanggapan yang akan diterima laki-laki jika menangis. Padahal, menangis itu bukan hanya menjadi urusan perempuan, menangis tu adalah respon fisik akibat dari refleks ataupun gejolak emosi dari seseorang, entah karena perasaan sedih atau bahagia.

Contoh diatas terlalu sepele, ya?
Baiklah, kita coba bahas ini dari sisi yang lain

Pada masyarakat patriarki seperti masyarakat kita, ada sekat-sekat yang sangat menonjol antara peran perempuan dan laki-laki dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya peran-peran dalam keluarga. laki-laki adalah kepala keluarga, maka secara otomatis itu berarti urusan keuangan keluarga akan dibebankan kepada laki-laki. Lalu dimana posisi perempuan? dalam hal ini, perempuan bertanggung jawab pada urusan pemenuhan penyedian makanan dan pendidikan anak-anak. Posisi ini tidak lagi bisa di tawar, laki-laki sebagai ordinat dan perempuan sebagai subordinat, dan harus saya katakan bahwa posisi ini masih bertahan hingga kini, yang meskipun telah banyak mengalami perubahan sosial (khususnya dalam bidang pendidikan maupun karir perempuan). Ini tidak sepenuhnya salah, terutama jika peran-peran tersebut memang disepakati antara perempuan dan laki-laki (bagi perempuan, ini haruslah keputusan yang dibuat secara sadar dan atas pilihannya sendiri). hanya saja, bagi saya, ini keputusan yang amat disayangkan.

Bagi saya, yang terbaik adalah membagi peran-peran tersebut dengan adil, bahwa laki-laki memiliki kesadaran bahwa urusan pendidikan dan pemenuhan penyidiaan makanan bukanlah urusan perempuan semata, apa sih salahnya kalau laki-laki masak? atau membantu mengerjakan PR anak-anak di sekolahnya?, dan perempuan harus juga memahami bahwa keuangan keluarga juga menjadi tanggung jawab bersama, dan ini bisa dilakukan hanya jika laki-laki memberikan kebebasan perempuan untuk bekerja dan berkarir. Dalam suatu keadaan, Laki-laki tak dapat bekerja karena alasan tertentu; sakit atau di PHK, jika sudah ada kesepakatan bersama mengenai peran ini, dan sudah dikomunikasikan dengan baik, maka perubahan ini tidak akan menimbulkan masalah yang berkepanjangan. Tetapi yang terjadi adalah, ketika muncul masalah ekonomi dalam keluarga, laki-laki yang tak mau berunding atau perempuan yang tidak punya keinginan untuk bekerja karena adanya peran-peran yang sudah tersematkan dalam budaya patriarki tersebut. Masalah ekonomi dalam keluarga bisa menjadi penyebab dari masalah-masalah lain dalam keluarga, seperti kekerasaan kepada anak dan perempuan, atau dalam beberapa kasus menjadi penyebab dari depresi dan bunuh diri.

"Tahukah bahwa dalam krisis ekonomi, kasus bunuh diri justru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan?"
"Tahukan bahwa kekerasaan terhadap perempuan dan anak justru lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekat?"

Mengenai bunuh diri, Emile Durkheim yang merupakan seorang Sosiolog dalam bukunya Suicide sudah menjelaskan mengenai bunuh diri yang bukan hanya berasal dari fakta individual tetapi juga merupakan fakta sosial, hal ini tentu saja melihat banyaknya kasus bunuh diri yang terjadi pada saat terjadinya krisis ekonomi. Dan mengenai kekerasaan terhadap perempuan dan anak, ini bukan berita baru, berapa banyak media yang memberitakan mengenai hal ini setiap harinya?

Dari sini kita bisa menyadari bahwa gerakan feminisme tidak bisa berdiri sendiri, melawan budaya patriarki yang sudah mengakar kuat dalam segala aspek filosofis dan sendi kehidupan masyarakat bukanlah pekerjaan sederhana, apalagi jika hanya dilakukan oleh perempuan saja. Sebelum membangun komunitas-komunitas yang memiliki pekerjaan yang terstruktur seperti membangun jaringan yang besar yang terdiri dari para aktivis gender, yang kemudian mencoba membawa permasahan ini keranah publik untuk kemudian masuk dan mempengaruhi para pembuat kebijakan, kita bisa memulainya dengan membuka perspektif mengenai feminisme dengan cara baik. Tidak lagi selalu mengenai diksi-diksi negatif mengenai "perlawanan perempuan terhadap laki-laki". Ada kutipan yang saya suka, mesti saya tidak tahu pasti siapa penulisnya, yang mengatakan bahwa "The Enemy of feminism isn't not men. it's patriarchy. and patriarchy is not men. it's system. and women can support the system of patriarchy just as men can support the fight for gender equality"

So, tidak sulit kan menjadi laki-laki feminis.
Salam.



Komentar

Postingan Populer