Reformasi Gereja dan Munculnya Kaum Ateis Baru di Eropa

(Lukisan: Luther at The Diet Worm, Sumber: Wikipedia)


Abad kelima belas dan keenam belas adalah abad paling menentukan bagi semua umat beragama. Periode itu merupakan periode paling krusial, khususnya bagi Kristen Barat, yang bukan hanya berhasil mengejar ketertinggalannya dari kebudayaan-kebudayaan lain dalam Oikumene, bahkan nyaris menaklukannya. Dua abad ini telah menjadi saksi bagi Renaisans Italia yang dengan cepat menyebar ke Eropa Utara, serta penemuan Dunia Baru dan awal revolusi ilmiah yang akan menimbulkan pengaruh sangat menentukan bagi perjalanan nasib seluruh dunia. Pada akhir abad keenam belas, Barat mulai menciptakan bentuk peradaban yang sangat berbeda. Periode ini merupakan sebuah masa transisi dan karenanya, ditandai oleh kecemasan dan berbagai prestasi.

Hal ini terlihat dengan jelas dalam konsepsi barat tentang tuhan pada periode tersebut. Di tengah keberhasilan sekular mereka, orang barat semakin menaruh perhatian pada iman melebihi pada masa-masa sebelumnya. Kaum awam merasa tidak puas terhadap bentuk agama Abad Pertengahan yang tak mampu lagi memenuhi kebutuhan mereka di dunia yang baru dan hal ini ditandain dengan sebuah gerakan yang disebut dengan Reformasi Gereja. Para Reformis menyeruakan kegelisahan ini dan menemukan cara baru dalam memandang Tuhan dan penyelamatan.

Untuk memahami konteks dari Reformasi Gereja yang menjadi pembahasan tulisan ini, ada baiknya kita memulai dengan pemahaman tentang latar belakang terjadinya reformasi agama yang kemudian dikenal dengan sebutan Reformasi Protestan di Eropa Barat yang di pelopori oleh Martin Luther. Ahmad Suhelmi mengatakan dalam Politik Pemikiran Barat (Gramedia; 2001) bahwa gerakan ini pada mulanya hanyalah rangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma. Tetapi pada perkembangan selanjutnya gerakan ini memiliki konotasi lain; ia dianggap identik dengan semua gerakan keagaaman dan organisasi yang menentang kekuasaan Roma. Suhelmi juga berpendapat bahwa gerakan Reformasi Protestan pada hakikatnya merupakan produk perlawanan pada Katolitisme. Selama berabad-abad Gereja dan lembaga Kepausan telah melakukan berbagai penyimpangan keagamaan tanpa ada satu kekuatan pun yang berhasil meluruskan penyimpangan itu, kalaupun ada, biasanya gagal dan berakhir secara dramatis seperti yang dialami oleh Giardarno Brono dan Salvanarolla dan juga Joan Of Arc yang tewas dibakar karena berusaha meluruskan penyimpangan itu.

Penyimpangan itu terjadi dalam beberapa bentuk. Banyak pemuka Katolik memperoleh posisi keagamaan melalui cara-cara yang tidak etis dan amoral, mereka tak segan-segan menyogok petinggi Gereja untuk berkuasa, juga melakukan korupsi dan manupulasi dan komersialisasi jabatan. Ada pula Paus yang berperilaku amoral menyangkut hubungan dengan wanita; memilki anak diluar perkawinan, pemujaan dalam acara sakramen suci dimana terlah terjadinya ritus pemujaan terhadap benda-benda dan tokoh-tokoh suci  dan salah satu penyimpangan yang kemudian melahirkan banyak protes, terutama di kawasan Jerman adalah penjualan surat-surat pengampunan dosa yang berlebihan.

Selain berbagai penyimpangan-penyimpangan dalam keagamaan dan korupsi yang mengatasnamakan agama seperti yang sudah disebutkan diatas, ada pemicu lain dalam gerakan reformasi ini, yaitu adanya pajak-pajak yang memberatkan ambisi kekuasaam kaum lokal dan kebangkitan nasionalisme di Eropa.

Di negara itu, nasionalisme termanifestasi dalam berbagai bentuk; di Inggris, hak Paus mengangkat pejabat-pejabat gereja di hapuskan; di Perancis hak-hak Paus menarik pajak dan mengangkat pejabat juga dihilangkan dan hakim-hakim sipil diberikan kewenangan penuh mengatur persoalan keagamaan di wilayah mereka masing-masing bebas campur tangan Paus; di Jerman, semangat nasionalisme termanifestasi dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan terhadap pendeta dan penentangan gigih terhadap penjualan surat-surat pengampunan dosa.

Protes-protes terhadap otoritas Gereja Katolik di lakukan Luther dengan cara menempelkan sembilan puluh lima tesis miliknya yang terkenal di Gereja Wittenberg pada 31 Oktober 1517, setelah itu Luther juga mengirimkan satu salinan tesis tersebut kepada Uskup Agung Mainz dan kemudian salinan-salinan tersebut disebarkan secara luas di wilayah itu. Cakupan protes Luther terhadap Gereja menandakan bahwa ia menolak mengakui otoritas Paus dan konsisi Gereja secara umum, dan menekankan bahwa dirinya akan di bimbing oleh kitab suci dan akalnya sendiri. Tidak heran bahwa Gereja merespon itu dengan tidak ramah, setelah serangkaian uji pendapatan di hadapan petinggi Gereja, tulisan tersebut akhirnya  dinyatakan terlarang.

Pada kasus biasanya, keputusan Luther akan membuatnya dibakar hidup-hidup. Namun, pandangannya telah mendapatkan dukungan luas dikalangan masyarakat Jerman dan ada sejumlah pangeran dan petinggi kerajaan diantara mereka. Walau Luther harus bersembunyi selama kira-kira setahun, dukungan terhadapnya di Jerman cukup kuat untuk memungkinkannya terhidar dari hukuman yang serius. Dari berbagai sumber, dikatakan bahwa Luther merupakan penulis yang sangat produkif, banyak tulisannya terbukti berpengaruh secara luas, ini lah kenapa ia memiliki dukungan yang luas tidak hanya di kalangan petinggi kerajaan tetapi juga masyarakat umum.

Martin Luther dan Reformasi Agama

Ahmad Suhelmi sekali lagi menjelaskan dalam Politik Pemikirn Barat bahwa Gerakan Reformasi Protestan merupakan tahap lanjutan dari gerakan Renaisans Italia. Meskipun demikian, terdepat perbedaan ciri fundamental antara keduanya. Gerakan Renaisans melahirkan prinsip menikmati hidup, manusia pada pada hakikatnya baik, percaya pada kebaikan dan toleransi sedangkan gerakan Reformasi menekankan prinsip bahwa akhirat dan kehidupan spiritual lebih penting dari kehidupan dunia, manusia pada dasarnya corrupt dan bejat moralnya, percaya pada keimanan dan konformitas. Hal yang dijelaskan oleh Suhelmi ini sejalan dengan apa yang ditulis Mcdonal and Cameron dalam Western Political Theory Part II, dimana dalam hidupnya, Luther adalah seorang dengan keimanan yang taat dengan percaya pada dwisifat Yesus dan Trinitas, bahkan Karen Amstrong dalam Sejarah Tuhan (Mizan: 2012) juga mengatkan bahwa Luther adalah seseorang yang sangat percaya sihir dan memandang bahwa kehidupan Kristen adalah peperangan melawan setan. Inilah sebabnya, dalam kesembilan puluh lima tesisnya, saya pikir Luther tidak mengutuki apa yang dilakukan Gereja atas penghukuman kepada orang-orang yang dianggap bersekutu dengan setan yang di kenal dengan istilah Inkuisisi Gereja.

Dalam Western Political Theory part II, halaman 227, disebutkan bahwa “in 1505, the year Martin Received an M.A degree at the University of Erfurt, he decided to become a monk. The decision Followed a strange and frightening experience in a thunderstrom when Martin was jolted by a bolt of lightning and vowed to St.Anne-who, irronically and significantly, was his father’s patron saint-that he would become a monk.” Dalam pengalaman yang disebutkan McDonall dan Cameron diatas, nampaknya hal tersebut menjadi sesuatu yang menentukan jalan hidup Luther pada akhirnya. Pada saat itu, mungkin tak pernah terpikir bahwa dirinya akan menjadi salah satu penyebab dari Reformasi Gereja yang kemudian akan merubah nasib perjalanan bangsa Eropa, khususnya Eropa Barat.

Membicarakan Martin Luther tidak lengkap rasanya jika tidak membahas sembilan puluh lima tesis yang ia tempelkan pada pintu depan Gereja Wittenberg, tetapi tidak mungkin mungkin juga membahas tesis tersebut secara sederhana. Sehingga dalam tulisan ini saya hanya akan menuliskan 4 point yang disebutkan dalam Western Political Theory, berikut adalah beberapa tesis milik Luther;

Few of Luther’s remarks could be classed as outright heresy and even on the chief item of complaint, indulgences, a moderate tone Generally prevailed;
(41) Papal Indulgences should be only be preached with cauntion, less people gain a wrong understanding, and think they are preferable to other good works: Those of love.
(43) Christians should be taught that one who gives to the poor, or lends to the needy, does a better action that if he purchase indugences.
(47) Christians should be taught that they purchase indulgences voluntarily, and are not under obligation to do so.
(48) Chistians should be taught that, in grating indulgances, the pope has are need, and more desire, for devaot prayer on his own behalf than for ready money.

Pada beberapa tesis yang di jabarkan diatas, kita menjadi mengerti apa yang dimaksud dengan para reformis, bahwa orang Kristen seharusnya memahami bahwa Indulgensi atau surat pengampunan dosa seharusnya dibeli dengan sukarela dan bukannya dengan paksaan seperti yang dilakukan Gereja pada saat itu. Selain itu, tesis Luther juga mengatakan bahwa orang Kristen seharusnya tidak “memanjakan” indulgensi tesebut, Karena bagaimanapun Paus memiliki kebutuhan dan lebih banyak keinginan untuk memperkaya diri dengan penjualan surat pengampunan dosa. Tapi yang harus kita pahami bahwa tesis milik Luther tidak hanya membangkitkan kemarahan kepada otoritas Gereja yang berdampak pada reformasi itu sendiri, tetapi juga kebangkitan dalam bidang keilmuan yang dalam jangka panjang-yang sebetulnya tidak pernah diramalkan- adalah munculnya bentuk “ateisme” baru di kalangan masyarakat Eropa modern. Dan ini adalah sesuatu yang tidak dijelaskan dalam Western Political Theory part II.

Kaum Ateis Baru Pasca Reformasi Gereja

Istilah ateis merupakan sebuah penghinaan. Tak seorang pun ingin menyebut dirinya ateis. Istilah itu belum merupakan lencana yang bisa dikenakan dengan bangga. Namun, pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, orang-orang di barat mengembangkan sikap yang membuat pengingkaran eksistensi Tuhan menjadi sesuatu yang bukan hanya mungkin, tapi juga disenangi. Mereka menemukan dukungan terhadap pandaangan didalam mereka di dalam sains. Akan tetapi, tuhan para reformis pun dapat dipandang selaras dengan sains baru. Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan, Luther dan Calvin menolak pandangan Aristoteles bahwa alam memiliki kekuatan yang instrinsik didalam dirinya sendiri. Mereka berkeyakinan bahwa alam sama pasifnya dengan seorang Kristen,yang hanya bisa menjadi penerima berkah penyelamatan dari Tuhan dan tidak bisa melakukan apa-apa untuk dirinya sendiri (Amstrong, Mizan; hal 432).

Secara eksplisit, Calvin memuji kajian ilmuan tentang alam, bahwa tidak ada pertentangan antara sains dan kitab suci. Tapi nampaknya, Gereja Katolik Roma tidak terlalu berpikiran-terbuka mengenai masalah ini. Contohnya, pada tahun 1530, 15 tahun setelah Luther menyebarkan tesis protesnya terhadap Gereja, ahli astronomi Polandia, Nicolaus Copernicus, menyelesaikan risalahnya De Revolutionibus, yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya, dan hal ini bertentangan dengan dogma Gereja dimana dinyatakan bahwa bulan adalah pusat tata surya, hal ini berkaitan dengan keberadaan Surga dan Neraka dalam alkitab, dan pada tahun 1543 menjadi salah satu buku yang terlarang oleh Gereja. Namun pada tahun 1613, Galilei Galileo mengklaim bahwa teleskop hasil temuannya telah membuktikan kebenaran sistem Copernicus, dan ini membuat Galileo dipanggil menghadap inkuisisi, diperintahkan untuk menarik kembali keyakinannya dan dijatuhi hukuman penjara sampai batas yang tidak ditentukan.

Hukuman atas Galileo memunculkan berbagai reaksi sekaligus penentangan, tidak semua semua orang Katolik menyetujui keputusan ini, tetapi Gereja Katolik Roma secara Instingtif  menentang setiap perubahan sebagaimana semua institusi lain pada periode ketika pandangan konsentrativ sedang berjaya. Yang membuat Gereja sedikit berbeda adalah kekuatannya untuk mendesakan perlawanannya dan merupakan mesin yang bekerja secara efisien dalam memaksakan keseragaman intelektual. Tak pelak lagi, hukuman atas Galileo mematikan kajian ilmiah di negara-negara katolik. Amstrong dalam Sejarah Tuhan mengakatan bahwa kasus Galileo adalah kasus yang rumit, dan ia tidak tidak bermaksud menelaah seluruh aspek politiknya. Namun ada satu fakta yang penting bagi kita: Gereja Katolik Roma mengutuk teori heliosentrisme bukan karena teori itu berbahaya bagi keimanan kepada Tuhan Sang Pencipta, tetapi bertentangan dengan firman tuhan dalam kitab suci.

Hal ini juga mengusik banyak penganut protestan pada masa pengadilan Galileo. Baik Luther maupun Calvin tidak mengutuk Copernicus maupun Galileo, meskipun tidak secara terang-terangan mendukung pernyataan tersebut. Selain pertentangan yang terjadi diantara Gereja dan para Ilmuan, Leonard Lessius (1554-1623) seorang teolog menyatakan bahwa eksistensi tuhan ini bisa dibuktikan secara ilmiah seperti semua fakta kehidupan lainnya. Namun pada abad ketujuh belas, para teolog dan pendeta terkemuka terus beradu argumentasi tentang keberadaan tuhan dengan alasan-alasan yang sepenuhnya rasional.

Dalam diri seorang teolog semacam Lessius dapat kita saksikan bahwa ketika Eropa menghampiri modernitas, para teolog justru membekal kaum ateis masa depan dengan sejumlah amunisi pengingkaran terhadap tuhan, yang tak banyak memiliki nilai religius dan mengisi hati manusia dengan ketakutan. Seperti para filosof dan ilmuan, kaum Kristen pasca Reformasi berusaha mencari pencerahan dari Tuhan yang ditemukan oleh akal.

Membicarakan masyarakat Eropa baru, ada gambaran mengenai hal ini dalam karya-karya milik John Milton, seorang sastrawan yang berasal dari Inggris abad ketujuh belas. Melalui karyanya yang tidak di terbitkan, On Christian Doctrine, ia berupaya melakukan reformasi atas Reformasi Gereja dan menciptakan sebuah kredo bagi keagaaman untuk dirinya sendiri yang tidak bergantung pada pada keyakinan maupun keputusan orang lain, jelas, ia juga meragukan doktrin-doktrin tradisional semacam trinitas. Namun penting untuk dicatat bahwa pahlawan sejati dalam karya utamanya Paradise Lost adalah Setan, dan bukannya Tuhan, yang tujuan utamanya adalah untuk meluruskan manusia. Menurut Amstrong, Setan dalam karya ini memiliki banyak sifat orang Eropa Baru; dia menolak otoritas, menentang kebodohan, dan menjadi penjelajah pertama dalam pengembarannya yang berani dari neraka, melintasi kekacauan menuju bumi yang baru di ciptakaan.
Sejak era Reformasi dan munculnya antusiasme baru terhadap Aristotelianisme dikalangan kaum Protestan dan Katolik, mereka mulai mendiskusikan Tuhan seakan-akan dia merupakan sebuah fakta objektif. Hal ini pada akhirnya membuat kaum “ateis” baru akhir abad kedelapan belas dan awal kesembilan belas bisa mengenyahkan Tuhan sama sekali.

Daftar Pustaka;
Mc Donal and Lee Cameron.,Western Political Theory, Part II. Pamona Collage, 1968
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Gramedia, 2001
Amstrong, Karen. Sejarah Tuhan, Kisah 4000 Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia. Mizan, 2001
Hart, Michael H.,100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia. Naorabooks,2012

Catatan:
Tulisan ini sebetulnya merupakan tugas critical review, yang pada awalnya saya pikir akan dikembalikan oleh Prof. Maswadi Rauf (Guru Besar Fisip UI) sebagai Dosen Pengampu pada mata kuliah Pemikiran Politik, Pasca Sarjana Ilmu Politik UNAS). Tapi karena tidak dikembalikan seperti beberapa kawan saya di kelas, jadi saya anggap ini memenuhi syarat sebagai sebuah tugas. Sekian~

Komentar

Fick Afryansyna mengatakan…
Tulisan ini cukup baik. Btw, sepertinya sesekali kita mesti ngobrol yang beginian bu, biar otak aa-nya kepake hahaha

Postingan Populer