Menumpuk Buku, Suatu Penyakit atau Obsesi?

Foto: sebagian koleksi pribadi

Saya punya tumpukan buku, yang entah bagaimana semakin menumpuk tak terkendali. Ada yang sedang saya baca, ada yang sudah saya baca tapi tidak selesai dan berniat saya selesaikan, meski entah kapan, ada yang-sepertinya-tidak akan saya baca lagi, bahkan ada juga yang sama sekali belum saya baca. Lalu suatu hari, saya mulai menyusun ulang, membuat daftar prioritas tepatnya. Mana buku yang harus saya baca lebih dulu, mana buku yang bisa saya tunda. Maka saat itu saya memutuskan akan memulai dari tumpukan paling atas.

Saya menaruh dua novel sastra klasik rusia pada tumpukan paling atas dengan penghormatan setinggi-tingginya, ada Catatan Dari Bawah Tanah-nya Dostoevsky dan Ruang Inap No.6-nya Chekhov, dua novel ini merupakan seri sastra dunia yang diterbikan oleh KPG. Lalu novel Kambing dan Hujan milik Mahfud Ikhwan yang menjadi pemenang dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2014. Di bawah novel ini ada buku kumpulan esai milik Wahyu Aria yang diterbitkan oleh Komunitas Kubah Budaya Banten, yang bukunya bisa dapat karena hasil dari persekongkolan kecil dengan dengan seorang kawan. Lalu ada Novel 2 States milik Chetan Bhagat, seorang penulis India yang juga penulis dari novel best seller 3 Idiots. Ada Novel Lilith’s Bible milik Hendri Yulius dan buku Budaya Masa, Agama, Wanita milik Veven SP Wardhana yang saya ambil tanpa pikir panjang dari sebuah keranjang Supermarket hanya karena bukunya sedang promo. Juga ada novel Kitab Lupa dan Gelak Tawa milik Kundera, sebuah novel yang dalam lima belas menit dibaca langsung bikin kepala saya migren, sehingga tidak pernah selesai sampai hari ini. Ada novel sejarah milik Zaynur Ridwan, hasil pinjam seorang kawan. Dua buku tumpukan paling bawah ada buku Berlanjut Ke Penggugahan yang ditulis oleh Yang Mulia Dalai Lama dan ditumpukan terakhir ada buku Berperang Demi Tuhan milik Karen Amstrong.

Daftar buku diatas saya buat sekitar dua bulan lalu, dan dengan sangat menyesal harus saya katakan bahwa saya hanya berhasil dengan dua novel di tumpukan paling atas, itupun dengan usaha dan kesabaran yang luar biasa. Jujur saja, ya, meski merupakan karya sastra yang bagus, saya tidak benar-benar bisa menikmati “momen-momen magis” ketika membaca tulisan dari penulis yang namanya susah dieja itu. Ah, bagi saya orang-orang Rusia itu terlalu serius.

Setelah saya menyelesaikan dua novel serius itu, tak lantas membuat tangan saya mengambil tumpukan buku yang tersusun rapih, saya mengalami kebosanan dengan buku baru yang benar-benar harus dibaca dari awal. Jadi selama beberapa waktu saya membaca ulang buku-buku Eka Kurniawan, Andrea Hirata atau Paulo Coelho. Saya juga tidak membaca dari awal, saya ambil sembarang buku lalu saya baca di halaman berapa saja yang terbuka oleh tangan saya, biasanya saya menyelusuri bagian-bagian yang saya tandai, sambil mengingat “momen-momen magis” ketika saya untuk pertama kali membaca buku-buku tersebut.

Di waktu-waktu tersebut, saya bukannya tidak mencoba menyelesaikan beberapa novel yang belum selesai saya baca, seperti novel Kundera, atau mencoba dengan novel baru yang benar-benar saya belum baca seperti novel Mahfud Ikhwan, tapi ini seperti masalah hati, kamu tidak bisa memaksakan sesuatu yang kamu sendiri tidak benar-benar inginkan. Saya jadi teringat seorang kawan yang pernah mengatakan kalau kita tidak menyelesaikan apa yang kita baca, jangan langsung menyalahkan diri sendiri, bisa saja buku itu memang tidak bagus atau kita tidak membacanya diwaktu yang tepat. Jadi nikmati saya bukumu, mesti kamu tak pernah benar-benar menyelesaikan itu.

Waktu saya menyusun daftar buku diatas, saya punya kecemasan kalau-kalau saya tertarik dengan buku lain diluar buku tersebut. Apakah saya harus menyusunnya ulang? Pikiran-pikiran ini, menggelisahkan saya ternyata. Karena tumpukan buku-buku itu mengingatkan saya pada rencana-rencana dalam hidup. Rencana yang pernah saya susun, kemudian berantakan, lalu saya susun ulang. Tapi apa hubungannya buku-buku itu dengan rencana hidup saya? Jadi saya enyahkan semua pikiran-pikiran yang hanya memberatkan hati.

Tapi soal kecemasan itu, saya terbukti benar. Satu bulan lalu, saya berkelana diantara deretan toko buku di kawasan Palasari Bandung. Dengan bantuan seorang kawan, saya berhasil menemukan satu toko yang berdasarkan pengalaman saya, lumayan lengkap untuk koleksi sastra dan buku-buku lama yang masih original dan tentunya, harga yang lebih murah kalau kamu bandingkan dengan toko buku konvensional.

Dalam waktu beberapa jam saja, saya berhasil mendapat beberapa buku, yang artinya, saya menambah tumpukan buku saya semakin meninggi. Kebanyakan memang buku-buku yang sudah pernah saya baca tapi karena obsesi hati, saya bertekad punya bentuk “fisiknya”. Seperti Madilog milik Tan Malaka, buku yang pernah saya baca ketika diawal masa-masa menjadi mahasiswa pergerakan. Saya juga menemukan epos hindu seperti Ramayana dan Mahabharata dengan versi P.Lal yang diterbitkan oleh Pustaka Jaya. Saya sebetulnya sudah punya buku Mahabharata versi G. Rajagopalachari yang menurut saya lebih lengkap kisahnya, tapi karena saya penggemar epos hindu, rasanya tidak masalah punya beberapa versi, malah saya masih mencari epos hindu ini yang ditulis ulang oleh penulis Indonesia, yaitu Nyoman S. Pendit, yang bukunya pernah saya baca, hasil pinjam dari perpustakaan kampus. Oh ya, saya juga menemukan beberapa buku anak-anak seperti mitologi yunani kuno yang pernah saya baca ketika saya SD. Sayang, saya hanya dapat dua buku cerita dari puluhan kisah yang ada.

Tapi saya bertekad kembali kesana, dan itu karena saya masih harus mencari beberapa buku milik Nawal El-Sadawi dan Orpan Pamuk yang saya yakin, masih ada ditumpukan buku-buku disana, saya hanya harus lebih bersabar mencari lagi.

Lalu tumpukan bukunya?

Urutanya masih sama seperti dua bulan lalu, hanya dikurangi dua novel serius dan ditambah beberapa buku baru hasil pinjam kawan yang judulnya bahkan saya lupa. Biarlah tumpukannya begitu, karena saat ini saya sedang asik membaca novel 1984 milik George Orwell, yang dalam dua hari kedepan bisa dipastikan selesai.

Menumpuk buku rasanya menjadi semacam penyakit yang biasa dihadapi orang-orang seperti saya ini, dengan prinsip beli-dulu-baca-kemudian yang sedikit berlebihan. Percayalah, selain obsesi hati karena ingin memiliki buku-buku tersebut dalam bentuk fisik, ini juga karena saya tidak tahu bagaimana menghentikan keinginan membeli buku. Entah ini suatu penyakit atau sekedar obsesi, saya tidak tahu pasti.


Karena buku bagi saya bukan hanya sekedar bahan baca yang akan menambah pengetahuan, buku tempat saya lari, tempat saya bersembunyi dan tempat saya menemukan diri sendiri.

Komentar

Postingan Populer