Demi Kedamaian Hati, Buku Jenis Ini Memang Harus Saya Hindari
"Halo kak Agisthia, saya admin bla bla bla mau info kalau hari ini sudah open PO untuk buku terbaru Dwitasari yang judulnya Setelah Kamu Pergi......."
Ini adalah pesan singkat yang saya terima di aplikasi WhatsApp, isinya ketebak kan, nawarin novel terbarunya Dwitasari. Saya memang anggota beberapa toko buku online, maklum, saya termasuk orang yang berprinsip beli-dulu-baca-nanti, jadi notifikasi kaya gini memang sering wara-wiri di henpon saya. waktu saya baca pesan ini, saya udah kepengen banget bales sama adminnya, "mba maapkan saya, saya belum tertarik membeli dan kemungkinan tidak akan pernah tertarik, makasih". tapi kok kesannya saya sombong amat ya. jadi saya urung. Karena faktanya, saya memang bukan penggemar buku-buku Dwitasari.
Perkenalan pertama saya dengan tulisan Dwitasari justru bukan dari buku-bukunya, tapi dari kutipan-kutipan yang kerap di repost sama teman-teman saya di medsos. yang terjadi kemudian adalah, saya memesan satu buku yang berisi kumpulan cerpen, judulnya Diam-Diam Jatuh Cinta, bukunya datang tiga hari kemudian dan langsung saya baca sambil ngopi di kantor, meskipun belum jam istirahat, saya memang suka banyak hilap kalau lihat buku, hehe.
Saya memang membeli bukunya, saya baca secepat kilat, mesem-mesem sendiri, habis itu selesai dan saya taruh entah dimana, itu satu-satunya buku yang saya beli, kemudian saya mengunjungi blog pribadinya, ternyata kisah yang saya baca juga ada disana, ahhh kenapa kemarin ga baca disini aja, buang-buang uang jatah buku aja. di blog pribadinya, ternyata lebih banyak kisah, mirip-mirip ceritanya, tentang si anu yang jatuh cinta sama anak orang kaya, tentang si cantik yang bertemu pujaan hatinya di bus, tentang si dokter baik yang menaruh rasa pada pecandu narkoba, ah klise, klise sekali.
lalu apakah karena itu saya tidak suka dengan tulisan Dwitasari?
lho ya jelas bukanlah, saya ini siapa berani-beraninya mengkritik penulis dengan buku-buku yang sudah banyak di film-kan seperti mba Dwita itu. alasannya cuma satu, buku Dwitasari adalah jenis buku yang bakal bikin saya baper setengah mati. ga cocok dibaca sama perempuan menye-menye kaya saya inih.
sekali waktu, jalan-jalanlah saya ke toko buku. deretan novel yang di display dengan cantik menarik perhatian saya "sampul novelnya cantik amat" ada pita-pita dengan gambar hati warna pink. oh, ternyata novelnya Boy Candra toh. tapi saya punya daftar buku yang mau saya beli, dan sudah ga bisa di tawar-tawar lagi. Novel cantik ini bisalah saya masukan kedalam daftar antrian, alias kapan-kapan.
Sampai sekarang saya masih ga punya novel-novel Boy Candra, Ika Natasha, Winna Effendi dll. bukan, bukan karena saya tidak kepengin baca atau menganggap tulisan-tulisan mereka tidak bagus, mereka itu penulis yang bukunya laris manis lho, masa tulisannya engga bagus, engga mungkinlah itu. Saya cuma terlalu takut.
Iya, takut baper.
Sudah saya jelaskan diatas kalau saya ini tipe perempuan menye-menye yang lahir dengan tingkat kebaperan yang sudah diatas rata-rata, sifat ini bawaan lahir, alami tanpa pemanis buatan. saya punya pengalaman dengan novel-novel sejenis ini, hati saya dirundung dengan perasaan maha galau, sedikit-sedikit berhenti hanya untuk menangisi tokoh-tokohnya. tapi itu dulu waktu saya SMP, waktu saya sedang giat-giatnya membaca novel teenlit dan sejenisnya. sekarang saya sudah tua, malulah sama diri sendiri.
waktu saya memutuskan untuk keluar dari persemedian panjang nan melelahkan, dengan keberanian dan tekad yang bulat, akhirnya saya buat akun facebook baru dan tentu saja akun Instagram yang benar-benar baru, ini adalah cara saya untuk lebih memanusiakan diri sendiri. saya yang engga pernah berani baca novelnya, ya cuma bisa follow akun IG-nya. lalu saya menemukan kutipan ini dari salah satu novel Boy Candra;
"Ternyata kamu hanya berjuang sesaat. Lalu menghilang saat perasaanku mulai kau dapat. Kau menjadi penyamar ulung, lalu menikam dipangkal jantung. Tak bisa kupercaya, nyatanya kamu memang tega. Tak bisa kumengerti, nyatanya kamu memang tidak berjuang sepenuh hati. Maka, pergilah bersama ilalang-ilalang mati. Terbakarlah menjadi abu dan tenggelamlah kedasar bumi. Kamu memang pernah membuat jatuh pada cinta. Lalu, mengajarkan bahwa ada seseorang yang tak seharusnya diajak bersama."
Lihat kan, lihat. saya yang cuma baca sepenggal aja bisa langsung baper, hati ikutan ngilu, rasanya seperti ada es batu di hati saya ini. maka beruntunglah saya yang tidak pernah membaca novel berjenis ini. demi kedamaian hati.
Ini adalah pesan singkat yang saya terima di aplikasi WhatsApp, isinya ketebak kan, nawarin novel terbarunya Dwitasari. Saya memang anggota beberapa toko buku online, maklum, saya termasuk orang yang berprinsip beli-dulu-baca-nanti, jadi notifikasi kaya gini memang sering wara-wiri di henpon saya. waktu saya baca pesan ini, saya udah kepengen banget bales sama adminnya, "mba maapkan saya, saya belum tertarik membeli dan kemungkinan tidak akan pernah tertarik, makasih". tapi kok kesannya saya sombong amat ya. jadi saya urung. Karena faktanya, saya memang bukan penggemar buku-buku Dwitasari.
Perkenalan pertama saya dengan tulisan Dwitasari justru bukan dari buku-bukunya, tapi dari kutipan-kutipan yang kerap di repost sama teman-teman saya di medsos. yang terjadi kemudian adalah, saya memesan satu buku yang berisi kumpulan cerpen, judulnya Diam-Diam Jatuh Cinta, bukunya datang tiga hari kemudian dan langsung saya baca sambil ngopi di kantor, meskipun belum jam istirahat, saya memang suka banyak hilap kalau lihat buku, hehe.
Saya memang membeli bukunya, saya baca secepat kilat, mesem-mesem sendiri, habis itu selesai dan saya taruh entah dimana, itu satu-satunya buku yang saya beli, kemudian saya mengunjungi blog pribadinya, ternyata kisah yang saya baca juga ada disana, ahhh kenapa kemarin ga baca disini aja, buang-buang uang jatah buku aja. di blog pribadinya, ternyata lebih banyak kisah, mirip-mirip ceritanya, tentang si anu yang jatuh cinta sama anak orang kaya, tentang si cantik yang bertemu pujaan hatinya di bus, tentang si dokter baik yang menaruh rasa pada pecandu narkoba, ah klise, klise sekali.
lalu apakah karena itu saya tidak suka dengan tulisan Dwitasari?
lho ya jelas bukanlah, saya ini siapa berani-beraninya mengkritik penulis dengan buku-buku yang sudah banyak di film-kan seperti mba Dwita itu. alasannya cuma satu, buku Dwitasari adalah jenis buku yang bakal bikin saya baper setengah mati. ga cocok dibaca sama perempuan menye-menye kaya saya inih.
sekali waktu, jalan-jalanlah saya ke toko buku. deretan novel yang di display dengan cantik menarik perhatian saya "sampul novelnya cantik amat" ada pita-pita dengan gambar hati warna pink. oh, ternyata novelnya Boy Candra toh. tapi saya punya daftar buku yang mau saya beli, dan sudah ga bisa di tawar-tawar lagi. Novel cantik ini bisalah saya masukan kedalam daftar antrian, alias kapan-kapan.
Sampai sekarang saya masih ga punya novel-novel Boy Candra, Ika Natasha, Winna Effendi dll. bukan, bukan karena saya tidak kepengin baca atau menganggap tulisan-tulisan mereka tidak bagus, mereka itu penulis yang bukunya laris manis lho, masa tulisannya engga bagus, engga mungkinlah itu. Saya cuma terlalu takut.
Iya, takut baper.
Sudah saya jelaskan diatas kalau saya ini tipe perempuan menye-menye yang lahir dengan tingkat kebaperan yang sudah diatas rata-rata, sifat ini bawaan lahir, alami tanpa pemanis buatan. saya punya pengalaman dengan novel-novel sejenis ini, hati saya dirundung dengan perasaan maha galau, sedikit-sedikit berhenti hanya untuk menangisi tokoh-tokohnya. tapi itu dulu waktu saya SMP, waktu saya sedang giat-giatnya membaca novel teenlit dan sejenisnya. sekarang saya sudah tua, malulah sama diri sendiri.
waktu saya memutuskan untuk keluar dari persemedian panjang nan melelahkan, dengan keberanian dan tekad yang bulat, akhirnya saya buat akun facebook baru dan tentu saja akun Instagram yang benar-benar baru, ini adalah cara saya untuk lebih memanusiakan diri sendiri. saya yang engga pernah berani baca novelnya, ya cuma bisa follow akun IG-nya. lalu saya menemukan kutipan ini dari salah satu novel Boy Candra;
"Ternyata kamu hanya berjuang sesaat. Lalu menghilang saat perasaanku mulai kau dapat. Kau menjadi penyamar ulung, lalu menikam dipangkal jantung. Tak bisa kupercaya, nyatanya kamu memang tega. Tak bisa kumengerti, nyatanya kamu memang tidak berjuang sepenuh hati. Maka, pergilah bersama ilalang-ilalang mati. Terbakarlah menjadi abu dan tenggelamlah kedasar bumi. Kamu memang pernah membuat jatuh pada cinta. Lalu, mengajarkan bahwa ada seseorang yang tak seharusnya diajak bersama."
Lihat kan, lihat. saya yang cuma baca sepenggal aja bisa langsung baper, hati ikutan ngilu, rasanya seperti ada es batu di hati saya ini. maka beruntunglah saya yang tidak pernah membaca novel berjenis ini. demi kedamaian hati.
Komentar